EMPU DAHADAN EMPU DAKA MENGAPIT PRABU AIRLANGGA



Bertepatan dengan hari raya Kuningan di Bali Sri Brahmaraja XI mengunjungi dan sowan Leluhur tepatnya di bekas pertapaan Empu Daha dan Empu daka untuk membuktikan dan sekaligus menjelaskan bahwa Sabdopalon dan Noyogenggong itu bukan dongeng melainkan leluhur negeri ini yang merupakan Empu/Bagawantanya kerajaan di zamannya yaitu zaman dynasti Darmawangsa di tanah Jawa sampai zaman dinasty selanjutnya semasih Nusantara ini ada bahkan dari zaman Atlantis,yang mana beliau menurunkan keturunan di Jawa dan Bali yaitu warga Pasek/Paku Alam/Paku Buwono/Mangkunegaran/Mangkubumi dll dsb dan warga Pande/Kepandean(Pembuat pusaka-pusaka kerajaan/Empu keris) dan beliau amat terkenal dengan kewaskita-annya sampai sekarang keturunannya masih sakti-sakti sehingga merupakan ujung tombak dari Kerajaan selanjutnya yaitu di zaman Majapahit(Suryodiningrat) sangat kelihatan fungsi dan perannya.
Untuk itu ini kami tampilkan dokument asli relief candi untuk membuktikan keberadaan beliau yang di pewayangan sering disebut dengan Tawalen(Bali)Semar(Jawa)dan Merdah(Bali)Petruk(Jawa).
Bagaimana kalau leluhurnya sendiri dibilang Jin dan Setan..........................?????????????????????????.sudah tentu si Leluhur marah-marah dan ini merupaken sumber bencana di negeri dimana leluhur sendiri disepelekan dan leluhur orang lain di agung-agungkan(pakai logika).Anda boleh belajar sampai ke India,anda boleh belajar sampai ke Mekah,anda boleh belajar sampai ke Eropa,anda boleh belajar sampai ke negeri China untuk mendalami Ilmu yang baik untuk diterapkan dan sesuai dengan adat budaya Nusantara tanpa menghapus dan menggantinya dengan budaya luar yang belum tentu sesuai dengan Adat asli peninggalan leluhur Negeri ini,sehingga memperkaya Budaya Negeri ini.Karena budaya Asli Nusantara semakin punah ditelan zaman ,semoga tulisan kami ini bermakna bagi keturunan dan Pratisentana Beliau yang ada di Bali dan khususnya di tanah Jawi dan untuk menyambut kedatangan Pratima Beliau di iring dari Jawa dan akan di pendak mulai dari Gilimanuk(sesuai adat Bali di pendak dengan gong dan sarana lainnya )dilanjutkan dengan Upacara yang akan di adakan  di Pura Besakih Bali dalam rangka pergantian tahun 2010 ke 2011....................Rahayu.
Semoga Nusantara Thoto tentrem gemah rimpah loh jinawi tan kirang pangan kinum.

PENELUSURAN JEJAK LELUHUR ARYA BLAHMANUKAN



MEN

Berawal dari keterpencilan kami di suatu desa sebelah barat daya dari perbatasan kabupaten Tabanan dan sebelah Selatan(Kaja bagi Bll) kabupaten Buleleng yang nama desanya adalah Blahmanukan(Brah Manu Kang) ,kami menelusuri jejak Leluhur Arya  Blahmanukan yang keberadaannya sangat terpencil dan masuk ke daerah dataran tinggi pegunungan Batur Karegan sebelah Utara Gunung Batukaru.Sesuatu yang sangat mengesankan di benak kami di tengah-tengah desa terdapat Palinggih Meru Tumpang 9  menjulang tinggi di depan pinggir jalan bersebelahan dengan Kantor Kepala Desa setempat.Adalah sesuatu bangunan yang seolah-olah mengingatkan pada setiap orang yang lewat bahwasanya di tempat terpencil dan jauh dari keramaian kota masih tersimpan sesuatu yang sangat unik dari peninggalan Leluhur untuk memberitahukan kepada keturunannya bahwa anda adalah keturunan Anak Menak(darah biru).Tetapi anehnya satupun warga desa tidak ada yang bergelar  Gusti,atau di atasnya sampai kami mencari keturunan setempat.Dan anehnya posisi desa di kelilingi oleh air baik dari Hulu sampai ke hilir,maupun kiri kanan desa dikelilingi air,sehingga kalau dibikin peta ada mata air dari segala penjuru seolah-olah tanah desa muncul dari dalam Air.Di Hulu(Utara) desa kami menemukan peninggalan Pra Sejarah yaitu berupa Punden Berundak.danMenhir berlubang 9.entah apa maknanya sampai sekarah masih penyelidikan…..
Lebih keatas lagi di daerah pegunungan kutemukan Batu Piramid yang bisa berubah posisi sesuai arah mata Angin.Yang mana menurut Tetua yang dapat kami percayai adalah Lingga Dewa Siwa(Lingga Yoni)seolah-olah seperti gampang mencopotnya dari tanah namun sukar dicabut dan bisa digoyangkan ke segala arah yang mana kalau ada bencara Batu Linggam/Piramid/Tumpeng/Gunung itu condok kea rah mata angin dilokasi bencana yang terjadi,misalnya kalau condong kearah barat maka bencana ada diarah barat  desa demikian seterusnya.
Sekarang kita bergerak ke Timur dari desa terdapat pancuran yang sangat terkenal di seluruh pelosok desa bahkan sampai ke daerah Badung(Bali Selatan)mengenalnya tapi lewat pawisik/bisikan Gaib dan banyak terbukti keampuhannya yang sering disebut pancuran “Yeh Mantra”.penunggu dari tirta yeh Mantra ini adalah berupa belut putih dan pada hari tertentu menampakkan diri kepada warga yang dating dengan niat membersihkan diri dari segala kekotoran jasmani dan rohani,dulu diceritrakan ada orang luar yang berkehendak untuk memohon air suci kepada Beliau yang berstana disana untuk pengobatan namun si pemohon lupa menaruh air ke dalam sibuh(tempat air dari batok kelapa),dan secara tiba-tiba sibuh bergerak sendiri disertai dengan terdengarnya mantra-mantra wingit keluar dari dalam sibuh dan aneh bin ajaib sibuh sudah berisi air suci jernih layak dikonsumsi .Dengan kejadian yang aneh bin ajaib serta kemukzisatan Beliau yang berstana di sana member berkah dan restu sehingga Pancuran sejak saat itu di beri nama Pancuran Yeh Mantra/Tirta Mantra yang mana di dalam dasar telaga mata air konon tersimpan Lontar-Lontar Kuno peninggalan Hyang Sidhimantra ketika beliau datang dari Jawa untuk mencari anaknya ke Besakih yaitu Manik Angkeran karena lama tidak pulang ke Jawa.Di tempat inilah beliau menyimpan pusaka-pusaka Jawa yang dipendam dengan kekuatan mantra beliau ditutup dengan Air dan di tunggu oleh Belut Putih.
Di sebelah Barat desa terdapat pancuran dan aliran sungai Yeh Saba yang hilirnya ada di daerah Seririt sampai di laut lepas dan airnya sangat besar karena hulunya ada di pengunungan di atas desa Cuma 6 km dari desa dan kami pernah main ke Hulu sambil mendaki dan airnya sangat jernih bahkan satwa/binatang gunung masih lestari hidup di pegunungan baik Kijang dan satwa lainnya tidak terusik sama sekali.Dan konon pancuran ini untuk pengobatan sampai-sampai nama dusun di barat desa namanya Dusun Obatan.Disini kami menemukan sesuatu simbol kuno yang sangat mengagumkan yang sampai sekarang kami bawa kemanapun kami berada.
Di selatan desa kami merupakan tempat Pemelastian Ida Bhatara kalau ada upacara Melasti karena desa ini jauh dari pesisir pantai atau laut dan dulu sekali waktu kami masih anak-anak melihat air merah total yang menurut penuturan Tetua adalah tersimpannya Mirah Delima asli untuk penyengker desa oleh leluhur pendahulu kami,bersambung…………

PENELUSURAN JEJAK LELUHUR ARYA BLAHMANUKAN



MEN

Berawal dari keterpencilan kami di suatu desa sebelah barat daya dari perbatasan kabupaten Tabanan dan sebelah Selatan(Kaja bagi Bll) kabupaten Buleleng yang nama desanya adalah Blahmanukan(Brah Manu Kang) ,kami menelusuri jejak Leluhur Arya  Blahmanukan yang keberadaannya sangat terpencil dan masuk ke daerah dataran tinggi pegunungan Batur Karegan sebelah Utara Gunung Batukaru.Sesuatu yang sangat mengesankan di benak kami di tengah-tengah desa terdapat Palinggih Meru Tumpang 9  menjulang tinggi di depan pinggir jalan bersebelahan dengan Kantor Kepala Desa setempat.Adalah sesuatu bangunan yang seolah-olah mengingatkan pada setiap orang yang lewat bahwasanya di tempat terpencil dan jauh dari keramaian kota masih tersimpan sesuatu yang sangat unik dari peninggalan Leluhur untuk memberitahukan kepada keturunannya bahwa anda adalah keturunan Anak Menak(darah biru).Tetapi anehnya satupun warga desa tidak ada yang bergelar  Gusti,atau di atasnya sampai kami mencari keturunan setempat.Dan anehnya posisi desa di kelilingi oleh air baik dari Hulu sampai ke hilir,maupun kiri kanan desa dikelilingi air,sehingga kalau dibikin peta ada mata air dari segala penjuru seolah-olah tanah desa muncul dari dalam Air.Di Hulu(Utara) desa kami menemukan peninggalan Pra Sejarah yaitu berupa Punden Berundak.danMenhir berlubang 9.entah apa maknanya sampai sekarah masih penyelidikan…..
Lebih keatas lagi di daerah pegunungan kutemukan Batu Piramid yang bisa berubah posisi sesuai arah mata Angin.Yang mana menurut Tetua yang dapat kami percayai adalah Lingga Dewa Siwa(Lingga Yoni)seolah-olah seperti gampang mencopotnya dari tanah namun sukar dicabut dan bisa digoyangkan ke segala arah yang mana kalau ada bencara Batu Linggam/Piramid/Tumpeng/Gunung itu condok kea rah mata angin dilokasi bencana yang terjadi,misalnya kalau condong kearah barat maka bencana ada diarah barat  desa demikian seterusnya.
Sekarang kita bergerak ke Timur dari desa terdapat pancuran yang sangat terkenal di seluruh pelosok desa bahkan sampai ke daerah Badung(Bali Selatan)mengenalnya tapi lewat pawisik/bisikan Gaib dan banyak terbukti keampuhannya yang sering disebut pancuran “Yeh Mantra”.penunggu dari tirta yeh Mantra ini adalah berupa belut putih dan pada hari tertentu menampakkan diri kepada warga yang dating dengan niat membersihkan diri dari segala kekotoran jasmani dan rohani,dulu diceritrakan ada orang luar yang berkehendak untuk memohon air suci kepada Beliau yang berstana disana untuk pengobatan namun si pemohon lupa menaruh air ke dalam sibuh(tempat air dari batok kelapa),dan secara tiba-tiba sibuh bergerak sendiri disertai dengan terdengarnya mantra-mantra wingit keluar dari dalam sibuh dan aneh bin ajaib sibuh sudah berisi air suci jernih layak dikonsumsi .Dengan kejadian yang aneh bin ajaib serta kemukzisatan Beliau yang berstana di sana member berkah dan restu sehingga Pancuran sejak saat itu di beri nama Pancuran Yeh Mantra/Tirta Mantra yang mana di dalam dasar telaga mata air konon tersimpan Lontar-Lontar Kuno peninggalan Hyang Sidhimantra ketika beliau datang dari Jawa untuk mencari anaknya ke Besakih yaitu Manik Angkeran karena lama tidak pulang ke Jawa.Di tempat inilah beliau menyimpan pusaka-pusaka Jawa yang dipendam dengan kekuatan mantra beliau ditutup dengan Air dan di tunggu oleh Belut Putih.
Di sebelah Barat desa terdapat pancuran dan aliran sungai Yeh Saba yang hilirnya ada di daerah Seririt sampai di laut lepas dan airnya sangat besar karena hulunya ada di pengunungan di atas desa Cuma 6 km dari desa dan kami pernah main ke Hulu sambil mendaki dan airnya sangat jernih bahkan satwa/binatang gunung masih lestari hidup di pegunungan baik Kijang dan satwa lainnya tidak terusik sama sekali.Dan konon pancuran ini untuk pengobatan sampai-sampai nama dusun di barat desa namanya Dusun Obatan.Disini kami menemukan sesuatu simbol kuno yang sangat mengagumkan yang sampai sekarang kami bawa kemanapun kami berada.
Di selatan desa kami merupakan tempat Pemelastian Ida Bhatara kalau ada upacara Melasti karena desa ini jauh dari pesisir pantai atau laut dan dulu sekali waktu kami masih anak-anak melihat air merah total yang menurut penuturan Tetua adalah tersimpannya Mirah Delima asli untuk penyengker desa oleh leluhur pendahulu kami,bersambung…………

PENELUSURAN JEJAK LELUHUR ARYA BLAHMANUKAN



MEN

Berawal dari keterpencilan kami di suatu desa sebelah barat daya dari perbatasan kabupaten Tabanan dan sebelah Selatan(Kaja bagi Bll) kabupaten Buleleng yang nama desanya adalah Blahmanukan(Brah Manu Kang) ,kami menelusuri jejak Leluhur Arya  Blahmanukan yang keberadaannya sangat terpencil dan masuk ke daerah dataran tinggi pegunungan Batur Karegan sebelah Utara Gunung Batukaru.Sesuatu yang sangat mengesankan di benak kami di tengah-tengah desa terdapat Palinggih Meru Tumpang 9  menjulang tinggi di depan pinggir jalan bersebelahan dengan Kantor Kepala Desa setempat.Adalah sesuatu bangunan yang seolah-olah mengingatkan pada setiap orang yang lewat bahwasanya di tempat terpencil dan jauh dari keramaian kota masih tersimpan sesuatu yang sangat unik dari peninggalan Leluhur untuk memberitahukan kepada keturunannya bahwa anda adalah keturunan Anak Menak(darah biru).Tetapi anehnya satupun warga desa tidak ada yang bergelar  Gusti,atau di atasnya sampai kami mencari keturunan setempat.Dan anehnya posisi desa di kelilingi oleh air baik dari Hulu sampai ke hilir,maupun kiri kanan desa dikelilingi air,sehingga kalau dibikin peta ada mata air dari segala penjuru seolah-olah tanah desa muncul dari dalam Air.Di Hulu(Utara) desa kami menemukan peninggalan Pra Sejarah yaitu berupa Punden Berundak.danMenhir berlubang 9.entah apa maknanya sampai sekarah masih penyelidikan…..
Lebih keatas lagi di daerah pegunungan kutemukan Batu Piramid yang bisa berubah posisi sesuai arah mata Angin.Yang mana menurut Tetua yang dapat kami percayai adalah Lingga Dewa Siwa(Lingga Yoni)seolah-olah seperti gampang mencopotnya dari tanah namun sukar dicabut dan bisa digoyangkan ke segala arah yang mana kalau ada bencara Batu Linggam/Piramid/Tumpeng/Gunung itu condok kea rah mata angin dilokasi bencana yang terjadi,misalnya kalau condong kearah barat maka bencana ada diarah barat  desa demikian seterusnya.
Sekarang kita bergerak ke Timur dari desa terdapat pancuran yang sangat terkenal di seluruh pelosok desa bahkan sampai ke daerah Badung(Bali Selatan)mengenalnya tapi lewat pawisik/bisikan Gaib dan banyak terbukti keampuhannya yang sering disebut pancuran “Yeh Mantra”.penunggu dari tirta yeh Mantra ini adalah berupa belut putih dan pada hari tertentu menampakkan diri kepada warga yang dating dengan niat membersihkan diri dari segala kekotoran jasmani dan rohani,dulu diceritrakan ada orang luar yang berkehendak untuk memohon air suci kepada Beliau yang berstana disana untuk pengobatan namun si pemohon lupa menaruh air ke dalam sibuh(tempat air dari batok kelapa),dan secara tiba-tiba sibuh bergerak sendiri disertai dengan terdengarnya mantra-mantra wingit keluar dari dalam sibuh dan aneh bin ajaib sibuh sudah berisi air suci jernih layak dikonsumsi .Dengan kejadian yang aneh bin ajaib serta kemukzisatan Beliau yang berstana di sana member berkah dan restu sehingga Pancuran sejak saat itu di beri nama Pancuran Yeh Mantra/Tirta Mantra yang mana di dalam dasar telaga mata air konon tersimpan Lontar-Lontar Kuno peninggalan Hyang Sidhimantra ketika beliau datang dari Jawa untuk mencari anaknya ke Besakih yaitu Manik Angkeran karena lama tidak pulang ke Jawa.Di tempat inilah beliau menyimpan pusaka-pusaka Jawa yang dipendam dengan kekuatan mantra beliau ditutup dengan Air dan di tunggu oleh Belut Putih.
Di sebelah Barat desa terdapat pancuran dan aliran sungai Yeh Saba yang hilirnya ada di daerah Seririt sampai di laut lepas dan airnya sangat besar karena hulunya ada di pengunungan di atas desa Cuma 6 km dari desa dan kami pernah main ke Hulu sambil mendaki dan airnya sangat jernih bahkan satwa/binatang gunung masih lestari hidup di pegunungan baik Kijang dan satwa lainnya tidak terusik sama sekali.Dan konon pancuran ini untuk pengobatan sampai-sampai nama dusun di barat desa namanya Dusun Obatan.Disini kami menemukan sesuatu simbol kuno yang sangat mengagumkan yang sampai sekarang kami bawa kemanapun kami berada.
Di selatan desa kami merupakan tempat Pemelastian Ida Bhatara kalau ada upacara Melasti karena desa ini jauh dari pesisir pantai atau laut dan dulu sekali waktu kami masih anak-anak melihat air merah total yang menurut penuturan Tetua adalah tersimpannya Mirah Delima asli untuk penyengker desa oleh leluhur pendahulu kami,bersambung…………

Pura Bukit Darma Kutri kaitannya dengan Pura Ibu Majapahit Pusat.


Om Swastyastu
Pada waktu Raja Udayana (Dinasti Warmadewa/Mulawarma/Miauliwarma) memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya Adat budaya Jawa ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Darma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh  dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Darma di Kutri itu?

Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur(Dinasti Sendok/Wangsadharma). Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan/Kelenteng(china), tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.

Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura PeDarman. Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.

Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.

Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadikan Bali yang plus. Agama Hindu Bali(Siwa Sidhantha/Siwa Budha) telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama” Siwa Sidhantha” dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.

Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Tirtha . Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Lontar Majapahit dan kitab-kitab susastra lainnya. Seni budaya Hindu Bali yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat setempat..

Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah menjadi kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.

Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Budaya Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Darma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.

Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana Babad Tanah Jawi. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu Jawa dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.

Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali adalah dengan Pemujaan beliau di Pura Kahyangan Dalem Desa masing-masing Pakraman,dan Pura Paibon di masing-masing Trah/klan/keluarga besar/gotra.

Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.

Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali pemujaan Ganesha atau Hyang Ganapathi diwujudkan dengan Ruwat deso/kota/bumi(Jawa) atau istilah Balinya  ada disebut “Caru Rsi Ghana”yang sudah diterapkan oleh masyarakat Bali secara turun temurun meskipun pemahaman masyarakat Bali Cuma tahu “MULA KETO”yang mana puncak pemujaan Ghanesa terbesar di rayakan pada Tilem Kesanga(Pengrupukan),Tawur Agung Kesanga yaitu jatuh  sebelum Hari Raya Nyepi.itulah implementasi Leluhur kita dalam penerapan pemujaan Ghanesa Kala/Ghanesa Dwi Muka Pura Majapahit Pusat berupa Pratima yang umurnya 1000th.

Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah.

Dewi Durgha di Pura Bukit Dharma Kutri :

Om Catur divya maha sakti.
Catur asrame Bhatari.
Siwa jagatpati Dewi
Durga sarira dewi.
(Stuti & Stava 308.2)

Maksudnya:
Om Hyang Widhi dalam wujud Catur Dewi, mahakuasa dan mahasuci, Hyang Widhi sebagai Dewi yang dipuja dalam empat kehidupan manusia, Catur Dewi adalah saktinya Sang Hyang Siwa, Dewa dari seluruh Dewa. Om Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sebagai Dewi Durga.

Pura Bukit Darma di Kutri Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai stana (Padharman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Darma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.

Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Darma Patni — sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan  Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.

Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Darma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Darma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan berageman di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Darma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Darma Patni distanakan (didharmakan) di Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan Blahbatuh Gianyar Bali.

Di pura ini permaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.

Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga” dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya menempuh jalan itu maka disebut Durga.

Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Darma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Darma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.

Gunapriya Darma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala(Arcanam) dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Dharma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.

Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/ panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana yang mana senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.

Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini distanakan pada bangunan pelinggih di arah Ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Darma ini. Arah Ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta(Siwa Budha). Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.

Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.

Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa(Purusha) dengan Dewi Parwati(Predhana) manifestasi dari Bapak dan Ibu(Lingga Yoni) beliau. Pemujaan Beliau sebagai manifestasi dari Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang dan sudah tentu yang paling penting adalah penghormatan kepada Leluhur pendahulu karena tanpa leluhur kita tidak ada di dunia ini. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini tanpa melupakan asal usul dari kita/bibit Wit atau istilah Balinya “Kawitan”.Kenapa di Pura Ibu Majapahit juga memuja Durga karena kita ketahui bahwa Prabu Airlangga yang menjadi Raja di Tanah Jawa adalah anak pertama dari Prabu Udayana hasil perkawinannya dari Ibunya Mahendradhatta malahan di Pura Ibu Majapahit diwariskan Pratima Durga Mahisasura Mardini bertahtakan Emas 1000th. berumur sama dengan keberadaan Pura Dharma Kutri di Gianyar.Sedangkan yang berstana di Pura Ibu Majapahit adalah Ibu Siwa Parwathi Tangan seribu Istrinya Bhatara Siwa mempunyai anak Ghanesa/dewa Ghana yang selalu menjaga Ibunya dengan setia semua Pratima ada termasuk Pratima Bhatara Lingsir(Siwa Budha “dalam kekawin sutasoma disebutkan siwa dan budha itu satu wujud tapi lain sebutan)ada yang umurnya tak terdeteksi oleh Arkeologi.inilah kaitannya Pura Durga Kutri dengan Pura Ibu Majapahit Pusat(Pura Ibu dari segala Ibu).Yang semua Pratima Kawitan Pusat sudah di “Upacara SUCISRADHA”upacara penyatuan Leluhur ke dewa dewi Titisannya(Manifestasi).Upacara Sucisradha ini adalah upacara akhir dari upacara “Ngaben di Bali”,dan jarang masyarakat di Bali bisa bikin upacara ini kecuali Puri Sunantaya Penebel Tabanan trah ARYA DAMAR atau.keluarga Raja Majapahit di Bali yang masih memegang “Lontar Indik Sucisradha”.

Jadi garis besar dari adanya Pura Durgha Kutri  dan Pura Ibu Majapahit ini adalah asli pemujaan Leluhur Pendahulu kita atau Pemujaan Kawitan Tertinggi bagi umat sedarma yang masih diterapkan sampai sekarang dan seterusnya.Rahayu……Rahayu………..Rahayu.

Om Shanti Shanti Shanti Om.



ASAL MUASAL PEMUJAAN LINGGA YONI(PURUSHA PRADHANA)


"Om Swastyastu" Ong wilaheng awignamastu namo shidam,lupute salah lan shandi lupute dendaning Tawang Towang Hyang Jagad dewa Bhatara Hyang Paramaditya Bhuwana langgeng".

Purwa Bhumi Kamulan termasuk kelompok lontar Tattwa. Lontar ini berisi ajaran tentang penciptaan dunia yang diuraikan secara mitologis. Seluruh ajarannya bersifat Siwabudhaistik. Pokok-pokok ajarannya sebagai berikut :"Om Bhatara Bhatari adalah dua sumber kekuatan yang mula-mula ada".

Dari kekuatan yoga Bhatari terciptalah Dewata, Panca Resi, dan Sapta Resi sebagai isinya dunia. Pada tahap berikutnya barulah diciptakan dunia. Gangga tercipta dari cucuran keringat. Samudra tercipta dari garam yang keluar dari badan. Prathiwi tercipta dari garam yang keluar dari badan. Selanjutnya Sanghyang Budha Dharma menciptakan"Mahapadma", Matahari, Bulan, Panca mahabutha dan Catur Pramana.

Setelah itu, Bhatari Uma merubah wujudnya sebagai Durga. Bulu-bulu badannya diciptakan sebagai Kala sumber kejahatan didunia. Dengan kekuatan yoganya, Durga menciptakan semua isi samudra ,ikan dst dsb.nya."Om Bhatara Guru" kemudian turun ke bumi sebagai Bhatara Ka\a karena tertarik oleh kekuatan pandang Bhatari Durga.

Dan dengan kekuatan yoganya Bhatara Kala menciptakan berjenis-jenis Kala. Manusia adalah santapan Bhatara Kala. Manusia yang disantap adalah : "Orang yang lahir pada wuku carik (wuku wayang). Kadana-Kadani (kembar siam), Bersaudara Lima, Tunggak Wareng (tus tunggal), Unting-unting ,Uduh-uduh rare bajang .Selanjutnya Bhatara Kala turun ke dunia membuat tempat pemujaan. Begitu pula Brahma, Wisnu dan Iswara diperintahkan turun ke dunia. Brahma sebagai Brahmana. Wisnu sebagai Bhujangga. Iswara sebagai Resi. Brahmana, Bhujangga dan Resi diberi tugas oleh Bhatara Kala menghaturkan sesaji kepada dirinya dan Bhatari Durga dan meruwat sepuluh jenis kekotoran manusia. Itulah permulaan manusia memuja Lingga Yoni/Purhusa Predhana.

Bhatara Kala dan Bhatari Durga tidak lagi menyantap manusia.Rupanya yang mengerikan kembali berubah wujud seperti semula sebagai Bhatara Guru dan Bhatari Uma,kembali ke Siwapada/Siwaloka. TEKS : "Om purwa bhumi kamulan, paduka Bhatari Uma; mijil saking limo-limo nira Bhatara guru. Mulaning hana Bhatari minaka somah Bhatara ; mayoga sira Bhatari. Mijil ta sira dewata, Panca Resi, Sapta Resi; Kosika, sang Garga, Maitri,Kurusya, sang Pratanjala. Kosika wikan padyargha, sinapa dening Bhatara; mijil ta sang hyang Kosika, sakeng kulit sangkanira. Mijilta sira sang Garga, sakeng daging sangkanira; mijil ta sira sangMaitri, sakeng otot sangkanira. Mijil ta sang hyang Kurusya, sakeng balung sangkanira, mijil ta sang Pratanjala, sakeng sumsum sangkanira.Genep isi ning bhuwana, apan sampun winastonan; ingutus ikang Bhatara,kalih lan sira Bhatari. Kinon sira (ng) gawa loka, neher sira sinanmata, kang wikan pateng ranira, sinapa de Bhatara. Kosika mlesat mangetan, matemahan dadi dengen, sang Garga mlesat mangidul, matemahan dadi sang mong. Sang Maitri mlesat mangulon, matemahan dadi ula,Kurusya mlesat mangalor, matemahan dadi bwaya. Pratanjala mlesat (ring)madhya, matemahan hyang kurma raja, ingutus sang Pratanjala, tumurun manggawe loka. Lumampah nda tan parowang, ingutus Bhatari Uma; dening paduka Bhatari, tumurun sang Pratanjala. Neher amit anganjali, Bhatara lawan Bhatari, angadeg sireng pantara, awang-awang uwung-uwung. Tanhananing sarwa katon, tan hana ning sarwa umung. Ahening cipta Bhatari,alekas anggawe loka, maka daging ing bhuwana, kalih lan sang Pratanjala. Karingeta kuyu-kuyu, adres titis ing sarira. Tumiba mangkeng Bhatari, mijil ta Bhatari Gangga. Mulanira duk samana. Asat karinget Bhatari; metu uyah saking awak, ginutuk ta sepet asin. Tumibeng Bhatari Gangga, mijil Bhatari samudra; dinulu awak Bhatari, metu lemah saking awak. Tumibeng Bhatari samudra, mijil Bhatari prathiwi; sarimbag loning prathiwi,sa-payung lo ning Akasa. Mulanira duk samana, mayoga ta sira muwah,alekas anggawe loka ...... Yoganira sanghyang Budha Dharma mijil tekang Mahapadma, maka sesek ing bhuwana.Mijilta Radtya klawan Wulan, maka suluh ing bhuwana; mijil lintang Taranggana, maka tulis ing bhuwana. Mijil Panca Maha Bhuta, maka urip ing bhuwana; mijilta Catur pramana ; apah, teja, bayu akasa. Urip ing anda bhuwana sampun apasek; mangke punang jagat traya apan sampun sirayoga. Dinel Bhatari Uma, satampakira Bhatari: hana putih, hana abang, hana kuning,hana ireng. Kaget Bhatari Sri Uma, agila tuwon ing awak, neher masih nadah janma, mangerak masingha-nada; waja masalit masiyung, tutukilwirjurang parah ro; netra kadi Surya kembar, irung kadi sumur bandung;kuping Iwir leser ing pa (ha;roma...agimbal;awak awegah aluhur, luhur iratan pantara; tutug ing anda bhuwana, tutug madhya ning akasa; sira ta Bhatari Durga, aranira duk samana. Satinggal Bhatari Durga,ayoga sang wado Kala; wulune ginawe ala, lanang wadon warna nira. Pada sampun winastonan, sampun pinugrahan aran, kunang tetendahanira, sicabora, si cabori, si bragla, si bragali, si sanaka, si sanaki, sidurana, si durani, si kaleka, si kaleki, si gondala, si gondali, sibetala, si betali, garbhayaksa, garbhayaksi, galungan panadah Kala.Pangawaking Kala braja, besawarna mandi-jati, pepelika, pepeleki, agungalitwarna nira. Yoga ning Bhatari Durga; ri sampunira mayoga,lumebu sireng samudra, mayoga sira irika. Isining dalem samudra, mijil tekang sarwa rupa, duyung kuluyung lan prang-prang, tangiri Kalawan buntek. Tan ilang takonakena. Genep kabeh punang warna, Yoganing Bhatari Durga, dineleng sireng bhuwana, tutug madhya ning Akasa.Tuminghal ta Bhatara guru, turun sira sakarengan, mayoga ta sira muwah, matemahan metu Kala. Mangerak masingha-nada, waja masalita siyung, tutuk lwir jurang parongbrong, netra kadi Surya kalih. Irungkadi sumur bandung, kuping lwir lalar ing pandung, roma akepel agimbal, awak awegah aluhur. Luhuriratan pantara, abang tutug ing bhuwana, tutug madhya ning Akasa, sira ta Bhatara Kala. Sira ta Bhatari Uma, aranira duk samana, mayogasa-wado Kala, lanang wadon warnanira. Bhuta bhuti, yaksa yaksi, pisaca,Bhuta manganti, maha Bhuta, panca Bhuta,pulung darah, pulung darih, Dewa dengen, Bhuta dengen, Daitya, wil lawan Danawa, Mrajapati Anggapati. Kekeliki, Pepelika, Pepeleki, agung alit warnanira, yoganing Bhatara Kala. Ri sampunira mayoga, mangher po sira ring gunung, Hyang Sangkara naminira, mangher po sira ring alas. Bhuta Banaspati Raja, Banaspati sireng kayu, Singha-Kala sireng lemah, Kala Wisesa ring Akasa. Bhuta lamis sireng watu, Wisnu pujut sireng wengi,Bangbang pita ring rahina, Kala nundang sireng dalan. Dora Kala sirenglawang, Hyang maraja sireng natar, Bhuta Suci sireng sanggar, Bhuta sayah ring bale agung. Kala Graheng pamanggahan, Bhuta Ngandang simpangawan, Kala dungkang sireng batur, Bhuta duleg sireng longan, Bhuta andelik sireng galar, Bhuta Gumulung ing klasa, Bhuta Jempang sireng galeng, Bhuta Asih ring paturon. Kala Mukti sireng pawon, Bhuta Ndelep sireng dengen, Kala sakti sireng sanggar, Kala nembah taretepan, Kala nginte sireng pager, Kala ngintip sireng tampul, Dora Kala sireng lawang, Bhuta ngingel Siwawalan, Bhuta ninjo ring gugumuk, Bhuta ngilo sireng sumur, Bhuta mangsa sireng sema, Bhuta boset pabajangan, Bhuta rerengek ring wates, Bhuta ulu sireng pakung, Bhuta edan (ring) dalanagung, Bhuta wuru sireng sajeng, Bhuta bloh (sir) eng dalanagung, Bhuta logok sireng tapan, Bhuta bega pamidangan, Bhuta cantule ing pasajnan, Bhuta simuh sande kawon, Bhuta ngoncang sireng lumpang, Bhuta ngadu sireng lebuh, kuncang-kancing ring padangan Bhuta grawang Umah suwung, Bhuta lawang paciringan, Bhuta lepek paperangan, Bhuta rangregek sireng wates, Bhutatulus sireng pangkung,Kala-kali ring pajuden, Singanjaya ring Kalangan, Kala edan sireng pasar, siddha-kara ring patamon, Bhuta dengkol sireng dagan, Kalamendek ring paseban, Bhuta asih ring paturon, Kala mukti pabetekan, Kaladengsek pabajangan, Kala dekek sireng sendi. Dineleng Bhatari Durga, mentas ta saking samudra, sareng lan Bhatara Kala, apa ta jalukanira. Abhasma sira rudhira, kapala ganitri nira, usus tasandangan-ira, asampet sira bang ireng. Ingemban ingiring-iring, dening wado Kala nira, tan sah ring pasanak ira, angher po sira ring setra.Setra wates pabajangan, kepuh randu kurambiyan, ingayap ing wado Kala,dremba moha nadah janma. Ulih ing anggawe loka, tinadah rahina wengi,binuru inguyang uyang, dening wado Kala nira. Tinututsa-paranira, tinadah rahina wengi, kuneng kang tinadah ira, enaknya anadah jalma. Tan salah tinadah-ira, janna wetu wuku carik, wuku wayangwuku nira, kadana (n) lawan kadini. Pandawa lawan metuwang, tunggakwareng, unting-unting, uduh-uduh rare bajang, tinadah rahina wengi.Mangkin krodha Sanghyang Kala, tumurun sira sakareng, angadeg ringsunyantara, anggawe Sanggah Pamujan. Neher ta ginawe nira,Brahma, Wisnu, Maheswara, tumurun ring madhyapada, arddha moho inggawe manusa. Hyang Iswara dadi Resi, Hyang Brahma dadi Brahmana, Hyang Wisnu dadi Bhujangga, ya tha sira mangke ngutus, dening pada nira Sanghyang ngaturaken tadah saji, sari genep saji nira, sampun ta mangke winastwan. Dening pada nira Sanghyang, Brahmana, Bhujangga, Resi, Saiwa kalawan Saugata, anglukata dasa mala.Anadah Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga, tok sekul Kalawan ulan, sarwa genep kang tadahan. Tan ilang takon akena. Datenge Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga, angadeg ing puspa-kaki, ingayaping wado Kala, garjita tumon ing tatadahan, tan ilang takonakena.Ingundang ing japa mantra, tinabuhan genta-genti, unung kang genta oragan, sangka umung tan pantara. Tutug teka ring akasa, siniratan sekarura, candana lawan wija kuning, damar murup lawan dhupa. Kukus sakeng dhupa panggil, tutug teka ring akasa, mrebuk arum kang bhuwana,kongas tekeng windu-pada. Mulaning hana amuja, kang manuseng madhya-pada, tadahan Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga. Neher sira siramanya : "manusa ring madhya-pada, Purnama Kalawan Tilem, tan kasapa de Hyang Kala, tan kasapa de Hyang Durga, Tan katadah de Hyang Kala,lan katadah de Hyang Durga, apan sampun sinuddha-mala, deni wastu nira Sanghyang. Ilang tekang rupa juti, waluya atemahan jati, Hyang Kala atemahan Guru, Hyang Durga temahan Uma. Mantuk mareng Siwapada; kalihlan Bhatari Uma; deni wastu nira Sanghyang, lukat sira Sang linukat.Lukat sira sang anglukat. Dewa sira sang linukat, hana sireng Siwapada,mantuk sira mareng swarga.Angiring ing pada Sanghyang, angadeg ing Suryapada; Kosika mulih mangetan, matemahan Hyang Iswara. Sang Garga mulih mangidul, matemahan Bhatara Brahma; Sang Maitri mulih mangulon.Matemahan Hyang Mahadewa. Kurusya mulih mangalor, matemahan BhataraWisnu, Pratanjala mulih ring madhya, matemahan Bhatara Siwa. Sakwehikang wak Kala, matemahan Widyadhara; manadi Yaksa klawan Yaksi matemahan Widyadhari. Sami mantuk mareng Swarga, angering paduka-nira, dening wastu nira Sanghyang, mulih kuneng jati purna.Manusa sami kalukat, mantuk maring Siwapada, sampun pada ingastonan,,ilang tekang rupa juti, waluya atemahan jati, dening wastu ira Sanghyang, alinggih ing Sthananira, enang-ening rupa jati.

TERJEMAHAN Om, Purwa Bhumi Kamulan (awal mula dunia).Yang Mulia Bhatari Uma, lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Mula-mula yang ada adalah Bhatari, sebagai permaisuri Bhatara . Beryogalah Bhatara dan beryoga pula Bhatari. Lahirlah para Dewata, Panca resi,Sapta resi; Kosika, Sang Garga, Maitri, Kurusya, Sang Pratanjala Kosika pandai dalam hal padyargha, dan kemudian dipastu/dikutuk oleh Bhatara; Sanghyang Kosika lahir dari kulit. Kemudian Sang Garga lahir dari daging. Sang Maitri lahir dari otot. Sanghyang Kurusya lahir dari tulang. Sang Pratanjala lahir dari sumsum. Maka lengkaplah isinya dunia (Bhuwana), sebab telah diisi. Kemudian Bhatara dan Bhatari disuruh membuat dunia, kemudian ia dinobatkan dan namanya sangat terkenal, dan kemudian di kutuk oleh Bhatara. Kosika pergi ke timur, berubah menjadi dengen. Sang Garga pergi ke selatan ,berubah menjadi harimau. Sang Maitri pergi ke barat berubah menjadi ular. Kurusya pergi ke utara berubah menjadi buaya. Pratanjala pergi ke tengah , berubah menjadi kura-kura besar. Sang Pratanjala diutus turun membuat dunia. Berjalan dengan tanpa teman, (karena) diutus oleh Bhatari (Uma), maka turunlah Sang Pratanjala. Lalu menyembah dan mohon diri (ke hadapan) Bhatara dan Bhatari. Berdirilah ia di antara langit yang kosong. Tidak ada sesuatu yang tampak, tidak ada sesuatu yang bersuara. Maka pikiran Bhatari menjadi hening, lalu mengeluarkan mantra-mantra untuk menciptakan dunia, beserta isinya dunia, bersama dengan sang Pratanjala. Keringat mengalir dengan deras membasahi badan. Kemudian jatuh menimpa Bhatari(Gangga), maka keluarlah Bhatari Gangga. Pada awal mulanya ketika itu,keringat Bhatari mengering, maka keluarlah garam dari badan yang rasanya sepat dan asin, jatuh menimpa Bhatari Gangga, lalu keluarlah Bhatari Samudra; dilihatnya badan Bhatari, keluarlah tanah dari badan, jatuh menimpa Bhatari Samudra,maka keluarlah Bhatari Prthiwi; kemudian dataran bumi menjadi melebar,berpayungkan hamparan langit yang lebar. Pada awal mulanya ketika itu, beliau kembali beryoga, mengucapkan mentra untuk membuat dunia.Dari yoga Sanghyang Dharma, keluarlah maha-padma, sebagai pelengkap dunia.Kemudian keluarlah matahari dan bulan sebagai penerang dunia; keluar gugusan bintang-bintang, sebagai hiasan pada dunia. Kemudian keluar Panca Maha Bhuta,sebagai jiwanya dunia; kemudian keluar catur pramana : apah,teja, bayu dan akasa. Sehingga jiwa anda bhuwana alit menjadi lengkap dan kuat;dan sekarang ketiga dunia menjadi sempurna, oleh yoga beliau. Dipandanglah Bhatari Uma, setiap yang disentuh oleh Bhatari, ada putih, ada merah, ada kuning dan ada yang hitam. Tiba-tiba Bhatari Uma menjadi murka melihat wujud dirinya, lalu tumbuh dorongan untuk memakan manusia, lalu berteriak bagaikan singa meraung.Gigi dan taringnya panjang. Mulutnya bagaikan jurang terbelah dua. Matabagaikan matahari kembar. Hidung bagaikan sumur kembar. Telinga bagaikan paha berdiri tegak. Rambut digulung, badannya tinggi besar,tingginya tidak terkira, dari anda bhuwana (Bulatan bumi) sampai kepertengahan langit, beliaulah Bhatari Durga, namanya saat itu. Semua abdi Bhatari Durga, dan abdi-abdi Sang Kala melakukan yoga;bulu-bulunya dijadikan sumber kejahatan, berwujud laki maupun perempuan. Semuanya sudah diisi dan sudah dianugrahi nama. Adapun nama-namanya adalah SiCabora, Si Cabori, Si Bragala, Si Bragali, Si Sanaka. Si Sanaki, SiDurana, Si Durani, Si Kalika, Si Kaleki, Si Gondala, Si Gondali, SiBetala, Si Betali, Si Garbhayaksa, Si Garbhyaksi, semuanya berpesta pada Galungan.Perwujudan Kala Braja, Besa warna yang amat sakti,Pepelika, Pepeliki, ada yang besar dan ada yang kecil wujudnya, Yoga Bhatari Durga. Setelah beliau beryoga, kemudian menyelam kedalam samudra, di sana beliau beryoga. Semua isi samudra lalu keluar dalam bentuk aneka rupa seperti : ikan duyung, ikan hiu, dan ikangergaji, ikan tengiri dan buntek (ikan pendek besar mengandung racun).Dan masih banyak lagi dengan nama masing-masing. Bhatari Durgaberyoga, dipandangnyalah dunia, tembus sampai kepertengahan angkasa.Bhatara Guru melihat, lalu seketika beliau turun. Kemudian beliauberyoga lagi, akhirnya lahirlah (para) Kala. Berteriak bagaikan singameraung, gigi dan taringnya panjang, mulut bagaikan jurang menganga,mata seperti matahari kembar, hidung bagaikan sumur kembar, telingabagaikan rambut diurai, badan tinggi besar. Tingginya luar biasa, bumimenjadi merah, tembus ke pertengahan langit, beliaulah Bhatara Kala. BhatariUma nama beliau tatKala itu Para Kala pembantu beliau baik yang laki maupunyang perempuan beryoga. Bhuta Bhuti, Yaksa Yaksi, Pisaca Bhutamenyertai, Maha Bhuta, Panca Bhuta, Pulung Dara , Pulung Dari .Krti Dara , Krti Dari , Dewa Dengen, Bhuta Dengen, Daitya, Wil,serta Danawa, Mrajapati Anggapati. Kekelika, Kekeliki, Pepelika,Pepeleki, ada yang besar ada yang kecil bentuknya, yoga Bhatara Kala.Setelah beliau beryoga, lalu beliau tinggal di gunung. Hyang Sangkaranama beliau, ketika beliau tinggal di hutan. Bhuta Banaspati,Banaspati pada kayu. Singha Kala pada tanah. Kala Wisesa pada langit.Bhuta Lamis pada batu. Wisnu Pujut pada malam hari. Bangbang Pita padasiang hari. Kala Nundang pada jalan. DoraKala pada pintugerbang. Hyang Maraja pada halaman. Bhuta suci pada sanggar. Bhuta Sayah padaBale agung. Kala Graha pada Kuburan (pemanggahan). Bhuta Ngadang padapersimpangan jalan. Kala Dungkang pada bangunan suci (batur). Bhuta Duleg dibawah tempat tidur. Bhuta Ndelik pada bilah-bilah bambu alas tikar pada tempat tidur (galar). Bhuta Gumulung pada tikar pandan yang dianyam halus (klasa). Bhuta Jempang pada bantal. Bhuta Asih pada tempat tidur. Bhuta Delep pada tugu pekarangan (dengen). Kala Sakti pada tempat suci (sanggar). Kala Nembah pada cucuran atap. Kala Nginte pada pagar. Kala Ngintip pada tiang rumah. Dora Kala pada pintu gerbang. Bhuta Ngigel pada orang kerasukan. Bhuta Ninjo pada gundukan tanah diatas kuburan. Bhuta Ngilo pada sumur. Bhuta Mangsa padakuburan Bhuta Boset pada kuburan anak-anak. Bhuta Reregek di perbatasan. Bhuta Ulu pada jurang. Bhuta Edan pada jalan besar. Bhuta Logok pada pertapaan(tapan). Bhuta Bega pada pamidangan . Bhuta Cantula pada balai pertemuan. BhutaSimuh pada waktu senja. Bhuta Nguncang pada lesung. Bhuta Ngadu pada jalan didepan rumah. Kuncang Kancing Padangan pada (alat dapur). Bhuta Grawang pada rumah kosong. Bhuta Lawang pada Gang. Bhuta Lepek pada medan perang. Bhuta Rengregek di perbatasan. Bhuta Tulus pada jurang. Kala Kali pada perjudian.Singanjaya pada arena perjudian. Kala Edan pada pasar. SiddhaKala pada pertemuan (patamon). Bhuta Dengkol pada kaki tempat tidur. Kala Mukti pada dapur. Kala Dengsek pada kuburan anak-anak. Kala Dekek pada dasar tiang rumah. Dipandangnya Bhatari Durga, lewat samudra, bersama dengan Bhatara Kala. Ia menggunakan darah sebagai basma. Ganitrinya tengkorak manusia. Usus selempangnya. Berselendang berwarna merah dan hitam. Diasuh dan diantar oleh para hambanya (yang terdiri dari) para Kala, tidak jauh dari sanak saudaranya, lalu ia menuju kuburan.Di perbatasan kuburan anak-anak,pada pohon kepuh dan randu yang rindang. Dipuja oleh para Kala yang menjadi hambanya, dengan seperti orang mabuk memakan manusia. Upah menciptakan dunia, dimakan., siang dan malam, dikejar dan diperangkap,oleh para Kala yang merupakan para hambanya. Kemana pergi dikejar,dimakan siang dan malam. Adapun manusia yang dimakan dengan enaknya.Tidak lain yang dimakan adalah orang yang lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang lahir pada Wuku Wayang, lahir kembarsiam (kadana-kadini), bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak wareng), unting-unting, itulah yang dimakan siang dan malam. Sekarang Sanghyang Kala marah,seketika ia turun, berdiri diantara dunia yang sepi, membuat sanggar pemujaan.Lalu diciptakan Brahma, Wisnu dan Maheswara, kemudian turun kedunia,berkehendak menciptakan manusia. Hyang Iswara menjadi Resi. Hyang Brahmamenjadi Brahmana. Hyang Wisnu menjadi Bhujangga. Merekalah kemudian yang diutus oleh Tuhan (Sanghyang), agar menghaturkan sajen/banten, segala jenis sajen yang lengkap. Sekarang sudah ditegaskan; oleh Sanghyang, bahwa Brahmana,Bhujangga, Resi, Siwa dan Sogata, boleh meruwat sepuluh jenis kekotoran. Bersantaplah Bhatara Kala bersama dengan Bhatari Durga, tuak, nasi, dan ikan,berjenis-jenis hidangan lengkap. Dan banyak lagi namanya yang lain.Kemudian Bhatara Kala datang, bersama dengan Bhatari Durga, berdiri diatas tangkai bunga, dipuja oleh para Kala yang merupakan hamba sahayanya, sangat senang hatinya, melihat hidangan. Diundang dengan japamantra, diiringi suara genta yang tiada putus-putusnya, suara genta oragan riuh, suara sangka riuh tidak henti-hentinya. Tembus sampai keangkasa, ditaburi dengan bunga-bungaan, cendana dan bija berwarna kuning, pedupaan dan dupa menyala. Asap dupa panggil tembus sampai keangkasa, bumi jadi harum semerbak bahkan sampai ke Windu Pada. Itulah awal mulanya adanya manusia dibumi memuja,mempersembahkan sesajen kepada Bhatara Kala, dan kepada Bhatari Durga. Lalu ia berjanji, bahwa setiap Purnama dan Tilem manusia di bumi tidak dikutuk oleh Bhatara Kala dan tidak pula dikutuk oleh Bhatari Durga. Tidak disantap oleh Hyang Kala,dan tidak pula dimakan oleh Hyang Durga, sebab sudah disucikan kekotorannya oleh berkat Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan). Rupanya yang mengerikan kemudian hilang, kembali seperti semula. Hyang Kala menjadi Bhatara Guru, Hyang Durga menjadi Bhatari Uma. Pulang menuju Siwa-pada (tempatnya Siwa), bersama dengan Bhatari Uma, oleh karena berkat Sanghyang Tunggal,akhirnya teruwat juga orang yang diruwat. Yang meruwat juga teruwat. Yang diruwat adalah Dewa, beliau ada di Siwa-pada. Ia kembali menuju Sorga. Setia pada Sanghyang Tunggal ,tinggal di Surya-pada. Kosika kembali ke timur menjadi Hyang Iswara.Sang Garga kembali ke selatan menjadi Bhatara Brahma. Sang Maitri kembali ke barat menjadi Hyang Mahadewa. Kurusya kembali ke utara menjadi Bhatara Wisnu. Pratanjala kembali ketengah menjadi Bhatara Siwa. Semua Kala yang merupakan hamba-hambanya menjadi Widhyadara.Mandiraksa dan Yaksi menjadi Widhyadari. Semuanya kembali ke sorga mengikuti junjungannya. Semua itu karena berkat Sanghyang Tunggal .Semuanya kembali seperti wujudnya semula.”mulih maring sangkan paran Rat Kabeh”.Acintya=tak terpikirkan. "Om Santih Santih Santih Om"

HARI RAYA PAGERWESI


PAGERWESI ADALAH PEMUJAAN UNTUK KAWITAN TERTINGGI (PRAMESTIGURU)
INI DIAMBIL DARI LONTAR RAJA PURANA DALEM MAJAPAHIT untuk keberadaan PURA BESAKIH :salah satu isinya adalah sebagai berikut"Jika tidak mentaati Piagam ini semoga kamu sirna dan menjadi lintah". Ini Piagam tahun 1007 Masehi (929 Saka). Om Namobhye namah, Om Sri wastha sattawasar. Raja Majapahit kabarnya dalam keadaan berbaring. Pada waktu itulah Prasasti yang berupa Piagam ini dikeluarkan. 
 
Aku adalah Batara Indra (Sri Wilatikta Brahmaraja I/Jayasabha nama beliau sebelum di abisekha Raja Majapahit)Hyang Wisesa gelar Beliau(Purusha), Istriku adalah Batari Maospahit(Bhatari Mas Magelung) dan aku Raja Majapahit bersama-sama bersemayam di pulau Bali.Ucapan ini ditujukan pada/ Diceritakan kepada Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan yang menurunkan Raja Bali. Karena ketulusan hati dan kebijaksanaan beliau ibarat Sang Hyang Dharma menjadi raja yang dapat mengalahkan raja Bali yang terdahulu. 
 
Dan Sira Wang Bang yang mengabdikan diri kepada Batara di Besakih juga mengemong pura tempat bersemayamnya Batara Naga Basukih. Demikianlah kewajibannya selama hidup serta para turunannya mengabdi mempersembahkan air suci. Sira Wang Bang mengantarkan persembahan raja ke hadapan Batara di Kahyangan tatkala bersembahyang ke hadapan yang bersemayam di puncak Gunung Agung dan Batara Pusering Tasik (Tengah samudra) dan lautan madu. Aku mengambil hasil bumi dan angkasa, segala jenis hasil pesisir, lautan dan gunung untuk biaya upacara ke hadapan Batara di Besakih (gunung Agung). Berkat anugerah Batara masyarakat bersatu mematuhinya akibatnya bumi pun makmur(Gemah rimpah loh jinawi). 
 
Para Arya semua bersatu yaitu: Arya Kanuruhan, Arya Kenceng, Delancang, Arya Belog, Arya Kuta Waringin. Sabda Batara, "Hai kamu manusia mayapada, jangan engkau durhaka kepadaku. Jika engkau tidak memelihara pura-pura di Besakih persemayaman para Dewa masing-masing dan kalau ada yang rusak tidak kamu perbaiki, tidak bakti, semoga kamu bertikam-tikaman dengan keluargamu dan semoga engkau binasa, martabatmu akan surut dan menderita serta jauh dari keselamatan". Sabda Batara Nawasanga kepada para umat penganut Siwa dan Buda dan para catur wangsa supaya memelihara dan memperbaiki kerusakan pura di Besakih."dsb dst.
 
Jadi semua Pura pura yang ada di Bali adalah pemujaan untuk Leluhur sesuai dengan tingkatannya,sedangkan Tuhan adalah sebagai pesaksi karena Tuhan telah memberikan mandat untuk Leluhur Tertinggi untuk mengurus keturunannya,baru nanti Beliau menyampaikan kepada Tuhan,bukti nyatanya sesuai dengan keberadaan Meru Tumpang yang ada di Kawitan di Besakih seperti Meru Tumpang I,II,II sampai Tumpang XI.contoh tingkatan leluhur kita ambil dari Bapak Ibu tingkat/tumpang I,Kakek nenek II,Kumpi III,buyut IV,kelab kambe V,dadong dawuh VI,kropaksentre VII,udeg-udeg VIII,gantung siwur IX,canggah X,Danghyang XI, baru setelah itu Tuhan.Jadi begitulah contoh untuk imflementasi Tingkatan leluhur yang dimanifestasikan oleh pendahulu kita dalam bentuk Meru Tumpang dan lestari sampai sekarang dan Budaya adiluhung itu punya makna bukan sekedar"mule keto"yang berhubungan dengan Buana Agung Alam semesta dan beserta isinya(Siwatatwa).

Menyambung makna dari Pagerwesi yang sudah turun menurun dirayakan oleh umat kita sudah tentu berhubungan juga dengan bhakti ke dalam diri yang sering di identikkan dengan Roh Suci(atman yang bersemayam di dalam diri dengan istilah Yoga Semadhi yaitu penerapan budhi pekerti luhur,mulat sarira,cinta kasih sesama sekalian mahkluk/sarwa prani,karena apa yang ada di alam(macrokosmos) begitu juga keberadaannya di Buana Alit(microkosmos)imflementasi ke dalam yang sering disebut Budhatatwa.inilah yang sering diperdebatkan mengenai makna "Siwa Budha"yang merupakan satu kesatuan dalam konsef kita hidup.Apapun yang kita laksanakan tanpa menerapkan "siwa budha"semuanya adalah palsu belaka.Inilah sistem yang perlu dilanggengkan turun-temurun agar terus berkelanjutan.
 
Dan ini saya tampilkan (Foto Piagam Siwa Budha zaman Dinasti Sendok dok Pura Majapahit Pusat)kenapa simbul "Surya Majapahit"adalah sebagai lambang Kerajaan Majapahit yang mana Siwa budha menyatu di tengah-tengah diantara dewa-dewa yang lain.Sehingga apa yang bisa membentengi kita bukanlah kesaktian atau kekebalan melainkan bhakti yang tulus pada Leluhur disertai moral yang baik.Rahayu, semoga semua mahkluk hidup berbahagia.

PURANA IBU DARI SEGALA IBU


PENGUNGKAPAN SEJARAH:
Bertepatan dengan Hari Raya Saraswati ini,kami selaku Penyungsung dan Pengempon Pura Majapahit akan mengungkap sejarah Ibu dari segala Ibu di jagadraya ini yang sering disebut sebagai Ibu DURGA MAHISA WARDINI(yang dimanifestasikan) yaitu Ibu dari Prabu Airlangga yang nama terkenalnya adalah Dewi Mahendradhatha.

Kenapa kami ungkap sejarah/purana/babad ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada umat yang kurang tahu persis siapa sebenarnya Ibu ini yang Pratima-Nya sudah berumur 1000-an tahun dan masih terawat dan di sungsung oleh keturunannya/ahli warisnya yaitu Sri Wilatikta Brahmaraja XI,yang mana Pratima ini mengalami zaman Dinasty Empu Sendok ,zaman Keemasan Majapahit dan merupakan sungsungan Raja-Raja turun temurun dan merupakan sungsungan pribadi di Puri beliau dan sampai saat ini masih disungsung yang di stanakan di Merajan Pura Majapahit Ibu Nusantara.sampai anda lihat Pratima-Nya sampai keropos baik perwujudan beliau maupun Lembu yang ditungganginya yaitu Lembu Nandini(foto).

Sebenarnya bersyukurlah bagi umat yang berada di Bali karena Beliau di linggihkan di Bali dengan Pratima beliau yang Asli dan sampai saat ini tidak bisa orang lain untuk menjiplaknya atau membuat duplikatnya karena saking bagusnya bentuk dan cara pembuatannya di zaman dulu dan menurut pengakuan dari ahli waris Kerajaan bahwa Beliau mewujudkan diri sesuai wujud dan wajah beliau yang asli waktu beliau masih di dunia ini (Pratima ini boleh dites arkeologi apa palsu apa asli silahkan buktikan kalau tidak percaya).

Dan kenapa kami ungkap ini karena berhubungan dengan kejadian Tgl 11 september lalu dimana Pratima Beliau diundang dan di pendak oleh WHYO dalam rangka Ulangtahun Ganesha anak beliau yang secara jelas adalah Istri dari Bhatara Siwa sesuai dengan Purana-purana yang sudah diketahui umum dalam rangka Ruwat Deso/kota/jagad.Bahkan sempat waktu itu Pratima tidak dibolehkan masuk ke Pura Jagadnatha karena salah paham dikira bukan milik sungsungan Majapahit (dikira patung baru dari aliran India yang berkembang di Bali saat ini).

Dan ketika Kami dari pihak Pura menjelaskan keberadaan Beliau baru-baru ini di gedung DPR Bali baru semua pengempon minta maaf karena mis informasi.dan semuanya saling minta-maaf karena ketidak tahuan umat.Sampai dalam rapat itu juga membahas akan diadakannya upacara Guru Piduka di Pura Jagadnatha(Pura Ida Shang Hyang Whidi Wasa) untuk kedua belah pihak yaitu dari Pengempon Pura Jagadnatha dan pihak WHYO karena ada kejadian di malam 11 september itu dimana kedua belah pihak saling adu argumentasi dari pihak penyungsung dan pihak penyelenggara yaitu WHYO (sauh ujar ala).

Sehingga dari sekala/nyata bahwa kami keliru ngiring Pratima Ibu Durga ke Pura Jagadnatha/Tuhan padahal menurus pengempon dan sejarah Pura Jagadnatha di dalamnya juga ada pelinggih penyungsungan Ratu Niang yang terkenal di Bali yang sering di sebut Nang Hay Niang Niang(nama china-Nya)atau sering disebut Ratu Mas Magelung(nama Bali)banyak sebutan tetapi Beliau satu,sama seperti Anoman(Bali)nama chinanya Sun Gokong,Ganesha nama chinanya Gajah Tin Tin,semua itu di Bali sudah lumrah karena kita zaman dulu bukan Agama tetapi Leluhur/Kawitan yang kita sungsung sampai saat ini terbukti dengan adanya Palinggih Merajan,Dadia,Paibu-an/Paibon,Panti,sampai ke Pedharman yang semuanya itu adalah Pura Leluhur/Kawitan/wit/sangkan Paraning Dumadi sesuai dengan linggih Beliau sampai saat ini ada Meru Tumpang XI (Pagoda Tingkat XI), Kelenteng (Gedong Ibu/Paibon) 

Semuanya itu adalah Palinggih Leluhur Kawitan kita.yaitu Leluhur Purusha dan Pradana (yang mana semua Leluhur yang sudah di aben dimasukkan atau di catat di pura Ibu kalau tingkat Wangsa,kalau tingkat desa namanya Pura Kayangan Dalem,sama seperti Pura Pradana yaitu Pura Batur ada Klenteng-nya juga,Pura Dalem Balingkang,Pura Goa Giriputri Nusa Penida,Pura Masceti,Pura Dalem Durgakutri Blahbatuh yang umurnya 1000-an tahun,Pura Besakih ada juga Pura Ratu Mas Magelung, Pura Dalem Puri sehingga semua desa,
pekraman nyungsung Ibu yang sering disebut Ibu dari segala Ibu karena sesuai dengan umur Beliau yang sering disebut Bhatari Durga/Siwa Parwati/Bhatari Uma ketika masih muda/Bhatari Saraswati ketika beliau menurunkan ilmu pengetahuan,Bhatari sri ketika beliau memberi Amertha,Pertiwi dll dsb dst dan ini salah satu kutipan (Bhisama Beliau) 

"Meme jani ada di Meru Malinggih yen meme di Jagat Jegeg meme tan nyamanpada Bhatari Gangga meme rabin Bhatara Siwapasopati, 

yen meme duka memurti meme menados Bhatari mecaling Jagad,rug.......gumine,nyen bani ngutak-atik Majapahit meme kel munggel" begitulah ucapan ibu kalau sampai marah, karena kutuk pastu Ibu yang melahirkan kita semua haruslah dihindari apalagi Ibu adalah perwujudan Cinta kasih jangan sampai kasihnya seorang Ibu surut gara-gara anak yang durhaka"Surga ada ditelapak kaki Ibu"............Guru piduka adalah permahluman dan permohonan maaf yang ditujukan untuk Ibu dari segala Ibu atau untuk Tuhan.........................????? camkan baik-baik...............bersanbung.

SEJARAH PALINGGIH MENJANGAN SELUWANG


Di petik dari : Babad Dalem Majapahit
Diceritakan Ida Pandita Siwa Budha yang bergelar Usman Aji dan Ajisaka diutus oleh Ratu Tanah Jawi yang  memelihara Pulau Jawa, karena pulau Jawa adalah sangat suci.

Keberangkatan keduanya ini membawa pengikut sebanyak 5.020 orang laki-perempuan. Yang memerintah di Majapahit pada saat ini Prabu Bhrawijaya V. Tetapi Majapahit dikacaukan oleh Islam sehingga banyak putri beliau lari beragama Islam.

Adapun putri Bhrawijaya V(banyak istri selir) dari Jawa berputra I Bondan Kejawan. Putrinya dari Danuja berputra Arya Damar, putrinya dari Papua berputra I Lembu Peteng .Di kisahkan di tempat lain yaitu Ki Arya Damar memerintah di Palembang dan bergelar Prabu Palembang.

Setelah Majapahit ditinggalkan oleh Arya Damar pergi ke Palembang menjadi Adipati Palembang, ada juga putra beliau yang bernama Arya Sampang yang setelah dewasa diutus untuk ikut kepada kakaknya Arya Damar. Arya Sampang diangkat menjadi patih yang bernama patih Samplangan.
Diceritakan julukan para Arya dari dulu seperti Arya Bleteng, Arya Sentong, Arya Benculuk, Arya Waringin, Arya Belog. Sang Arya Samplangan dulunya memilih Arya Jelantik, Arya Pangrurah Dawuh, Arya Palasan, Arya Dalancang, Arya Sidemen, dan Arya Batan Jeruk dll dst-nya.

Diceritakan kemudian Putri Cina(Putri Cempa) setelah 12 tahun hamil dan lahirlah Raden Patah.
Patih Gajah Mada dan Patih Supandria yang mempunyai tugas yang berbeda seperti Patih Gajah Mada menjadi Penguasa atau Panglima dan Patih Supandria menjadi Empu, Patih Gajah Mada lah yang menurunkan Pasek sebanyak delapan buah sedangkan Patih Supandria mendirikan Warga Pande sebanyak lima buah. Putra dari Patih Gajah Mada bernama I Pasek Pangasih, I Pasek Bandesa I Pasek Tangkas, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pagatepan. Anak Ki Patih Supandria adalah Pande-mas, Pande-gong, Pande-wijil, Pande-wesi yang kesemuanya menjadi pemuka di kerajaan Majapahit.

Juga putri Cina ketika hamil delapan tahun melahirkan Raden Kusen, Raden Patah dan Raden Kusen disuruh menghamba ke Majapahit. Tetapi Raden Patah membelok ke Gresik dan Raden Kusen menuju Majapahit. Raden Patah sesampai di Gresik menghadap kepada-Raden Guru Syeh Maulana. Raden Patah dipungut dan diajar Agama Islam. Setelah Raden Patah mahir dengan ajaran-ajaran Islam, disuruh datang ke Majapahit untuk menggantikan Prabu Majapahit atas asutan Syeh Maulana, Raden Patah mengambil istri yang bernama Dewi Supitah disahkan oleh para pendeta sekalian. Setelah itu atas petunjuk dari Raden Syeh Maulana(Guru Islam dari Arab) mendirikan Kerajaan Demak. Atas perintah dari Raja Majapahit V(ada dalam serat/babad Darmo Gandul ketika Brawijaya V terpaksa ikut Islam),-Raden Kusen menjadi Senapati melakukan penyerangan ke Demak. 

Di situ terjadi perdebatan antara kedua orang kakak beradik  tersebut. Dalam peperangan ini wafat lah prabu Demak (Raden Patah). Setelah itu Raden Kusen kembali ke Majapahit menghadap kepada Prabu Brawijaya ke V dan disuruh untuk menyudahinya karena menimbulkan aib sendiri sesama keluarga besar Majapahit, Tetapi para bahudanda Demak seperti Adipati Pengi, Adipati Giri, Adipati Tegal membelot mengadakan penyerangan ke Majapahit atas asutan Syeh Maulana, sehingga Majapahit terdesak, Putra Majapahit Brawijaya V yang bernama Raden Lembu Peteng dilarikan serta disembunyikan di Maospahit. Sang Prabu Oka(Raden Lembu Peteng/Raden Gugur) hasil perkawinan dengan permaisuri beliau/Putra Sah Penerus Kerajaan disuruh mengungsi agar keturunannya yang Sah selamat dari kepungan Islam Demak, terus lari mengungsi siang malam karena dikejar oleh pasukan Demak untuk di Islam-kan, tetapi beliau dibantu oleh seekor Kijang/ Menjangan untuk melarikan diri dan diturunkan di Selat Banyu Arum (Banyuwangi tepatnya di Batu Dodol sekarang).

Perjalanan beliau dilanjutkan ke Bali lewat segara rupek(Pura Segara Rupek sekarang) dan sampai di Pulaki(Singaraja barat sekarang) diiringi oleh para Pendeta Siwa Budha dan rakyat sekalian, Besoknya perjalanannya dilanjutkan sampai ke Batur dan diutusnya Arya Sampang/Arya Samplangan mendirikan puri di Mengwi. Ida Sang Prabu diceriterakan sampai di Puri Gelgel dan mendirikan, Puri yang bernama Puri Smarabawa. Di sini lah Agama Tirta dipertahankan serta dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kemudian Sang Prabu Dalem Majepahit menempatkan para Arya seperti Dalem Ketut di Sanur, Arya. Jlantik di Karangasem, Arya Kepakisan ditempatkan di Tegal Ambengan Buleleng, Arya Sidemen di Pangalasan.dsb dst sampai saat ini untuk menghormati Ida Dalem Majapahit maka seluruh Keturunan Beliau termasuk pengiring-pengiring beliau untuk membuat Palinggih/Palungguh Menjangan Seluwang(kijang atau Menjangan yang telah menyelamatkan beliau sampai ke Bali-dwipa..............
    
Diceritakan pasukan/pengikut setia Beliau I Gede Bendesa Manik Mas di Jimbaran yang berasal dari Banjar Gading Wani Tegeh(Pura Tegeh Sari Jimbaran sekarang) ada putranya yang bertempat di Pujungan bernama I Gede Tebya. Putranya di Beratan bernama I Gede Jagra. Diceritakan Ida Padanda Dwijendra/Pranda sakti Wawu Rauh/Sabdopalon=nama Jawa sebagai Pengabih Prabu Brawijaya V(Serat Babad Darmogandul) pergi ke Gelgel diiringkan oleh Ki Bandesa Manik Mas. Ida Padanda sampai di Sumedang, beliau memprelina rakyat sebanyak 800 orang karena putrinya Dewi Swabawa(berstana di Pura Melanting Buleleng sekarang) disembunyikan orang rakyat tersebut. Desa itu kini diberi nama Pulaki.

Para Pangeran dari Purusa seperti I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tankenyudurian, I Gede Kabayan, I Gede Pamregan, dan I Gede Abyan Tubuh. Para pangeran dari Pradana adalah I Gede Bala Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Salahin, I Gede Komoning dan I Gede Lurah. Diceritakan keturunan dari Pangeran I Pasek Gelgel yaitu sebanyak delapan orang yang bernama Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh, Pangeran Selat, Pangeran Sebetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur dan I Pangeran Anyaran.

Keturunan Pasek Bali yaitu Pasek Kedisan, Pasek Sukawana, Pasek Taro, dan Pasek Celagi, Keturunan I Bandesa Gelgel adalah I Bandesa Gelgel dan I Pangeran Manik Mas. Pangeran Manik Mas menurunkan I Gede Manik Mas dan I Gede Pasar. Badung, I Gusti Nengah Sebetan Karangasem menjalankan daya upaya untuk menghancurkan Ida Dalem Bali(Majapahit Bali ), dengan cara Ida Dalem diutus datang ke Besakih. Tetapi sampai di Karangasem, Sri Aji Dalem dikurung serta dipenjara/ ditawan(Moksah di Besakih) atas kesalahan ini biar tidak tulah sama Sri Aji Dalem Majapahit Bali maka semua harus membikin Palinggih Menjangan Seluwang. Dengan demikian para Putra Dalem lari terlunta-lunta meninggalkan Puri Gelgel tak tentu rimbanya atau misteri..........sehingga BALI ADALAH MAJAPAHIT...........makanya semua masyarakat Bali di Pura Merajan/Leluhur/Kawitannya ada Pelinggih/Palungguh Menjangan Seluwang, berani tidak membikin tanggung sendiri akibatnya kena Tulah/kwalat dari Bhisama Bhatara Dalem Majapahit..........bersambung.
    
Nama/ Judul Babad :
    
Babad Dalem Majapahit.
Nomor/ kode :
    
Va.5961, Gedong Kirtya, Singaraja.
Koleksi :
    
Ajin Dayu Putu Remrem.
Alamat :
    
Geria Bantas, Penarukan, Kerambitan, Tabanan.
Bahasa :
    
Jawa Kuna Tengahan.
Huruf :
    
Bali
Jumlah halaman :
    
56 lembar/halaman.
Ditulis oleh :
    
Da Ba Sa ring Geria Bantas Manuaba Panarukan.
Colophon/ Tahun :
    
Puput sinurat ring rahina Sa., Ka., Wayang, Tang., Ping.5. Sasih 8, rah 6, Teng,, ping,9, Isaka jagat 1896, tahun Masehi 1976. Kasurat antuk titiang Da Ba Sa, ring Geria Bantas Manuaba, Panarukan.

DINASTI WARMADEWA KAITANNYA DENGAN BUDAYA DESA TENGANAN DENGAN PERANG PANDANNYA


BALI AGE (BERASAL DARI DESA AGE GUNUNG RAUNG JAWA TIMUR) telah melekat di tubuh Tenganan. Awig-awig yang mengikat krama desa masih lugu memelihara warisan budaya yang memang patut untuk dijaga. Meskipun begitu ketatnya, demokrasi tetap terjaga. Di sini laki-laki bukan herarti lebih tinggi dari perempuan. Tenganan selalu memperlakukan orang-orangnya untuk tetap mengingat betapa pentingnya persamaan hak jiwa kewajiban. Lihatlah rumah-rumah kuno itu selalu berjejer sama di atas jalan desa yang masih perawan. Orang-orang di sini begitu bijaksana menyikapi tanah warisan desa. Tanah bukan untuk dijual tapi untuk dijaga dan dihidupi agar tetap lestari dan langgeng.

Bersyukurlah Manggis punya Desa Adat Tenganan. Di tanah ini aku selalu belajar tentang masa lalu. Keterpencilan bukan lalu membuat desa jadi mati dan asing tetapi tetap hidup dengan segudang Aura Magis yang terpancar dari perilaku adat menuntun warganya untuk selalu berada pada jalan yang benar.Meski sederhana namun tetap bersahaja. Siapakah yang membiarkan kerbau-kerbau itu bebas berkeliaran? Adalah Budaya Adat juga. Bahwa hewan tak selamanya meski ditangkar dalam sangkar dan kandang. Di sini selalu ada kebebasan dalam keterikatan. Jangan coba kau usir kerbau itu karena ia adalah penjaga desa.

Di Pageringsingan, aku belajar mengenal kesabaran pada perempuan desa menenun serat benang menjadi selembar kain tradisional. Kain geringsingkah itu? Sore hari, kudapati tangan perempuan Tenganan tengah berlumur kuning minyak kemiri dan merah akar sunti Nusa Penida. Bersabarlah, tunggu hingga benang itu kering, sebentar lagi kubuatkan kain dari tangan-tanganku yang terampil. Ya, kedua tanganmu pun menari menyulam dan menjalin benang-benang yang telah kauwarnai. Jangan tergesa-gesa maka jadilah motif-motif yang kausukai. Inilah kain geringsing yang selalu ditenun dengan kesabaran hati.
Perempuan-perempuan itu tengah menenun kain penolak bala. Kain itulah yang selalu menjagamu dari arus zaman yang suatu waktu bisa menggerus pintalan benangnya. Hingga kini, geringsing itu masih kau pandang sakral. Jika gering berarti sakit dan sing itulah yang meniadakannya. Kuyakini geringsing menjauhkan orang-orang Tenganan dari petaka.
Cinta di kilometer enam puluh lima dari pusat kota ini juga dibatasi. Jadi, jangan coba-coba menikah dengan warga luar desa. Hai..... pemuda Tenganan jika cintamu tak bisa terbendung dengan perempuan luar, ada konsekuensi yang menunggumu. Di sana, di Banjar Pande akan menjadi tempat tinggal cintamu karena engkau dianggap lahir cacat melanggar keteguhan awig-awig desa. Namun, tak lalu menjadikanmu terpisah dari ritual kehidupan adat dan agama. Engkau masih diberi persamaan hak dan kewajiban untuk tetap melaksanakan ritual kebiasaan yang telah ada. Demikianlah cinta terlarang itu diperlakukan.

Bukit-bukit yang mengelilingi Tenganan selalu menyimpan cerita sejarah yang layak untuk disimak Bukit Kauh dan Bukit Kangin itukah yang telah membendungmu? Matahari di sini selalu terbit di puncak bukit dan harus rela tenggelam di atas bukit pula. Dulu, orang-orang bergerak dari pesisir pantai menuju daerah yang kelak menjadi tanah Bali Kuno. Maka Tenganan kuyakini berasal dari kata ngatengahang mengantarkan orang-orangmu selalu bergerak ke dalam merambah pangsa bukit-bukit mungil itu.
Dalam Kerajaan Bali Kuno, ditanah inilah Ki Patih Tunjung Biru memperoleh kuasa sebagai menteri kerajaan. Masa itu, Bali dipimpin oleh putra Shri Musala Masuli yang bernama Shri Gajah Waktra dengan gelar Dalem Bedahulu atau Sri Astasura Ratna Bumi. Dengan kesaktian dan kebijaksanaannya, Bali pada waktu itu diperintah dengan adil dan tenteram. Dalam pemerintahannya, beliau dibantu para menteri yang patuh memegang perintah sang raja, disiplin, dan sakti mandraguna.Diantaranya Ki Pasung Grigis sebagai mahapatih berkuasa di Tengkulak Ki Kebo Iwa sebagai patih muda berkedudukan di Blahbatuh, Ki Tunjung Tutur mengambil tempat di Tianyar, Ki Tunjung Biru berada di Tenganan, Ki Tambyak di Jimbanan, Ki Buan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro. Para menteri inilah yang selalu menjaga tanah Bali.
Dari sinilah timbul cerita bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Bedahulu, Gianyar. Suatu kali, raja Dalem Bedahulu kehilangan salah satu kuda kesayangannya. Di manakah kuda itu meringkik? Raja berniat hati agar kuda itu ditemukan. Maka diperintahlah orang-orang Bedahulu untuk mencarinya ke timur Bali di bawah pimpinan Ki Patih Tunjung Biru. Di tanah inilah pada akhirnya kuda itu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa oleh Ki Patih. Atas kerja keras dan kesetiaan Ki Tunjung Biru maka sang raja memberikan wewenang untuk mengatur dan menguasai daerah tempat kuda itu ditemukan.
Wilayah yang bisa dikuasai sejauh aroma bangkai kuda itu bisa tercium. Berkat kepintaran Ki Patih, dipotong-potonglah bangkai kuda itu dan disebarkan sejauh mungkin sehingga sang menteri kerajaan bisa mendapatkan daerah kekuasaan yang cukup luas.Tengananpun menjadi tempat kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru hingga masa ekspedisi Gajah Mada ke Bali. 
Jika aku Tenganan, kudapati pandan-pandan itu tengah berduri. Meruncing pada tepi-tepi daunnya yang menyirip hijau. Siapakah yang menjadikan pandan-pandan itu tumbuh menyuburi Pageringsingan? Kupercayai ini sudah menjadi titah Dewa Indra/Hyang Wisesa/Hyang Adwayabrahma/Hyang Jayasabha Panglima Perang sebagai  anak dari Prabu Airlangga di Kerajaan zaman Prabu Airlangga Wangsa Warmadewa di Jawa dan di Bali adinda Beliau Anak wungsu sebagai Rajanya, sebagai dewa Tertinggi dalam dunia peperangan. Di tanah Tenganan Dewa Indra(Hyang Wisesa Brahmaraja I meru tumpang 11 di Besakih sekarang) selalu dihormati dengan ritual Perang Geret Pandan. Warga percaya bahwa mereka adalah keturunan ksatria perang dari tanah kelahirannya di Desa Age(Jatim). Setajam apakah duri-duri itu akan menggeret kulit tubuhmu? Setajam hatimu untuk selalu menjaga tradisi perang yang penuh dengan kedamaian itu. Nah, duri-duri itu telah lama menunggumu untuk beryuda di atas arena perang tradisional. Juga tameng ata (sejenis tumbuhan pakis yang merambat) itu, bukankah telah lama merindukannya? Perisai yang akan melindungimu nanti dari geretan duri pandan lawan. Sudah siapkah dirimu bersetubuh dengan duri-duri itu?
Pada sasih kelima tepat di Hari Raya Sambah perang pandan kembali berkobar(Purnama ke 5 odalan di Pura Majapahit Gwk Palinggih/Palungguh Hyang Prabu Airlangga yang dimanifestasikan dengan Bhatara Wisnu naik Garuda(Gwk) jadi kesemuanya itu adalah untuk menyenangkan Leluhur/Kawitan Beliau yaitu Dinasti Warmadewa). Arena yang selalu jadi riuh itu telah menanti laki-laki pemberani sebagai laskar ksatria perang. Di arena perang itulah, pemuda-pemuda Tenganan akan membuktikan bahwa raga dan jiwa mereka betul-betul kuat mempertahankan tradisi yang telah berurat-akar. Tajamnya duri pandan Tenganan tak lalu membuatnya jadi takut jika menghujani punggungnya yang menegak matahari. Sakitkah ketika duri-duri itu menggeret kulit punggungnya?
Gepokan daun pandan berduri itu akan menjadi saksi bahwa tubuhmu betul-betul kuat menahan sakit dan perih sesaat. Jikapun punggungnya itu nanti berdarah tak lalu membuatnya meringis kesakitan. Mereka kini tahu, keteguhan hatinya betul-betul diuji di laga perang. Semangat akan makin menyala untuk menggores punggung lawan ketika tahu bajang-bajang dari celah jendela di atas rumah panggung itu memberinya sorak dalam senyum yang menggoda. Siapakah yang akan mencabuti duri-duri itu pada punggungnya yang memerah? Ketika duri-duri itu dicabuti satu per satu, tarian perang pun telah usai. Perang pandan selalu berakhir dengan damai. Bagiku tak ada yang menang tak ada yang kalah. Kemenangan sejati akan ada ketika tradisi itu tetap terjaga sepanjang pandan-pandan itu terus berbunga dan berduri ditanah Bali Aga Tenganan.Apakah kaitannya perang pandan di sasih ke 5 dengan odalan Prabu Airlangga wangsa Warmadewa di Bali yang jatuh di Purnama ke 5(lima)..............????? Kesemua itu adalah untuk mengem-Bali-kan dan mengingatkan pada satu Keturunan/Kawitan Pusat Kita jangan sampai kita sebagai Generasi muda penerus melupakan sejarah purana Bhatara Kawitan Pusat yang bersumber dari Ayah yang sama yaitu Wangsa Warmadewa sehingga Hyang Prabu Airlangga yang berstana di Pura Majapahit Gwk disebut Pura Kawitan Jawa-Bali(Beliau lahir di Bali umur 14 th ke Jawa Timur dan menjadi Raja di Dinasti Sendok menantu ,sehingga Beliau bisa menggabungkan Dinasti Warmadewa dan Dinasti Sendok di Jawa Timur dan Bali sehingga kawin mengawin dua Dinasti yang meneruskan trah Beliau di Bali dan Jawa.Kalau di telusur bahwa Dinasti yang berkembang di Nusantara terdiri dari 3 Dinasti besar yaitu Dinasti Warmadewa(Bali Age),Dinasti Sendok(Kadiri) dan Dinasti Wisnu Wangsa(Jenggala ,terakhir menurunkan Aryeng Kauripan di Bali= Arya Cakradara,Arya Damar,Arya Kenceng,Arya Tanwikan,Arya Sentong dll).Rahayu................