Pura Bukit Darma Kutri kaitannya dengan Pura Ibu Majapahit Pusat.


Om Swastyastu
Pada waktu Raja Udayana (Dinasti Warmadewa/Mulawarma/Miauliwarma) memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya Adat budaya Jawa ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Darma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh  dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Darma di Kutri itu?

Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur(Dinasti Sendok/Wangsadharma). Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan/Kelenteng(china), tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.

Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura PeDarman. Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.

Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.

Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadikan Bali yang plus. Agama Hindu Bali(Siwa Sidhantha/Siwa Budha) telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama” Siwa Sidhantha” dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.

Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Tirtha . Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Lontar Majapahit dan kitab-kitab susastra lainnya. Seni budaya Hindu Bali yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat setempat..

Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah menjadi kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.

Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Budaya Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Darma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.

Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana Babad Tanah Jawi. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu Jawa dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.

Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali adalah dengan Pemujaan beliau di Pura Kahyangan Dalem Desa masing-masing Pakraman,dan Pura Paibon di masing-masing Trah/klan/keluarga besar/gotra.

Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.

Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali pemujaan Ganesha atau Hyang Ganapathi diwujudkan dengan Ruwat deso/kota/bumi(Jawa) atau istilah Balinya  ada disebut “Caru Rsi Ghana”yang sudah diterapkan oleh masyarakat Bali secara turun temurun meskipun pemahaman masyarakat Bali Cuma tahu “MULA KETO”yang mana puncak pemujaan Ghanesa terbesar di rayakan pada Tilem Kesanga(Pengrupukan),Tawur Agung Kesanga yaitu jatuh  sebelum Hari Raya Nyepi.itulah implementasi Leluhur kita dalam penerapan pemujaan Ghanesa Kala/Ghanesa Dwi Muka Pura Majapahit Pusat berupa Pratima yang umurnya 1000th.

Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah.

Dewi Durgha di Pura Bukit Dharma Kutri :

Om Catur divya maha sakti.
Catur asrame Bhatari.
Siwa jagatpati Dewi
Durga sarira dewi.
(Stuti & Stava 308.2)

Maksudnya:
Om Hyang Widhi dalam wujud Catur Dewi, mahakuasa dan mahasuci, Hyang Widhi sebagai Dewi yang dipuja dalam empat kehidupan manusia, Catur Dewi adalah saktinya Sang Hyang Siwa, Dewa dari seluruh Dewa. Om Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sebagai Dewi Durga.

Pura Bukit Darma di Kutri Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai stana (Padharman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Darma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.

Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Darma Patni — sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan  Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.

Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Darma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Darma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan berageman di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Darma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Darma Patni distanakan (didharmakan) di Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan Blahbatuh Gianyar Bali.

Di pura ini permaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.

Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga” dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya menempuh jalan itu maka disebut Durga.

Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Darma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Darma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.

Gunapriya Darma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala(Arcanam) dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Dharma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.

Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/ panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana yang mana senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.

Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini distanakan pada bangunan pelinggih di arah Ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Darma ini. Arah Ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta(Siwa Budha). Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.

Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.

Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa(Purusha) dengan Dewi Parwati(Predhana) manifestasi dari Bapak dan Ibu(Lingga Yoni) beliau. Pemujaan Beliau sebagai manifestasi dari Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang dan sudah tentu yang paling penting adalah penghormatan kepada Leluhur pendahulu karena tanpa leluhur kita tidak ada di dunia ini. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini tanpa melupakan asal usul dari kita/bibit Wit atau istilah Balinya “Kawitan”.Kenapa di Pura Ibu Majapahit juga memuja Durga karena kita ketahui bahwa Prabu Airlangga yang menjadi Raja di Tanah Jawa adalah anak pertama dari Prabu Udayana hasil perkawinannya dari Ibunya Mahendradhatta malahan di Pura Ibu Majapahit diwariskan Pratima Durga Mahisasura Mardini bertahtakan Emas 1000th. berumur sama dengan keberadaan Pura Dharma Kutri di Gianyar.Sedangkan yang berstana di Pura Ibu Majapahit adalah Ibu Siwa Parwathi Tangan seribu Istrinya Bhatara Siwa mempunyai anak Ghanesa/dewa Ghana yang selalu menjaga Ibunya dengan setia semua Pratima ada termasuk Pratima Bhatara Lingsir(Siwa Budha “dalam kekawin sutasoma disebutkan siwa dan budha itu satu wujud tapi lain sebutan)ada yang umurnya tak terdeteksi oleh Arkeologi.inilah kaitannya Pura Durga Kutri dengan Pura Ibu Majapahit Pusat(Pura Ibu dari segala Ibu).Yang semua Pratima Kawitan Pusat sudah di “Upacara SUCISRADHA”upacara penyatuan Leluhur ke dewa dewi Titisannya(Manifestasi).Upacara Sucisradha ini adalah upacara akhir dari upacara “Ngaben di Bali”,dan jarang masyarakat di Bali bisa bikin upacara ini kecuali Puri Sunantaya Penebel Tabanan trah ARYA DAMAR atau.keluarga Raja Majapahit di Bali yang masih memegang “Lontar Indik Sucisradha”.

Jadi garis besar dari adanya Pura Durgha Kutri  dan Pura Ibu Majapahit ini adalah asli pemujaan Leluhur Pendahulu kita atau Pemujaan Kawitan Tertinggi bagi umat sedarma yang masih diterapkan sampai sekarang dan seterusnya.Rahayu……Rahayu………..Rahayu.

Om Shanti Shanti Shanti Om.



ASAL MUASAL PEMUJAAN LINGGA YONI(PURUSHA PRADHANA)


"Om Swastyastu" Ong wilaheng awignamastu namo shidam,lupute salah lan shandi lupute dendaning Tawang Towang Hyang Jagad dewa Bhatara Hyang Paramaditya Bhuwana langgeng".

Purwa Bhumi Kamulan termasuk kelompok lontar Tattwa. Lontar ini berisi ajaran tentang penciptaan dunia yang diuraikan secara mitologis. Seluruh ajarannya bersifat Siwabudhaistik. Pokok-pokok ajarannya sebagai berikut :"Om Bhatara Bhatari adalah dua sumber kekuatan yang mula-mula ada".

Dari kekuatan yoga Bhatari terciptalah Dewata, Panca Resi, dan Sapta Resi sebagai isinya dunia. Pada tahap berikutnya barulah diciptakan dunia. Gangga tercipta dari cucuran keringat. Samudra tercipta dari garam yang keluar dari badan. Prathiwi tercipta dari garam yang keluar dari badan. Selanjutnya Sanghyang Budha Dharma menciptakan"Mahapadma", Matahari, Bulan, Panca mahabutha dan Catur Pramana.

Setelah itu, Bhatari Uma merubah wujudnya sebagai Durga. Bulu-bulu badannya diciptakan sebagai Kala sumber kejahatan didunia. Dengan kekuatan yoganya, Durga menciptakan semua isi samudra ,ikan dst dsb.nya."Om Bhatara Guru" kemudian turun ke bumi sebagai Bhatara Ka\a karena tertarik oleh kekuatan pandang Bhatari Durga.

Dan dengan kekuatan yoganya Bhatara Kala menciptakan berjenis-jenis Kala. Manusia adalah santapan Bhatara Kala. Manusia yang disantap adalah : "Orang yang lahir pada wuku carik (wuku wayang). Kadana-Kadani (kembar siam), Bersaudara Lima, Tunggak Wareng (tus tunggal), Unting-unting ,Uduh-uduh rare bajang .Selanjutnya Bhatara Kala turun ke dunia membuat tempat pemujaan. Begitu pula Brahma, Wisnu dan Iswara diperintahkan turun ke dunia. Brahma sebagai Brahmana. Wisnu sebagai Bhujangga. Iswara sebagai Resi. Brahmana, Bhujangga dan Resi diberi tugas oleh Bhatara Kala menghaturkan sesaji kepada dirinya dan Bhatari Durga dan meruwat sepuluh jenis kekotoran manusia. Itulah permulaan manusia memuja Lingga Yoni/Purhusa Predhana.

Bhatara Kala dan Bhatari Durga tidak lagi menyantap manusia.Rupanya yang mengerikan kembali berubah wujud seperti semula sebagai Bhatara Guru dan Bhatari Uma,kembali ke Siwapada/Siwaloka. TEKS : "Om purwa bhumi kamulan, paduka Bhatari Uma; mijil saking limo-limo nira Bhatara guru. Mulaning hana Bhatari minaka somah Bhatara ; mayoga sira Bhatari. Mijil ta sira dewata, Panca Resi, Sapta Resi; Kosika, sang Garga, Maitri,Kurusya, sang Pratanjala. Kosika wikan padyargha, sinapa dening Bhatara; mijil ta sang hyang Kosika, sakeng kulit sangkanira. Mijilta sira sang Garga, sakeng daging sangkanira; mijil ta sira sangMaitri, sakeng otot sangkanira. Mijil ta sang hyang Kurusya, sakeng balung sangkanira, mijil ta sang Pratanjala, sakeng sumsum sangkanira.Genep isi ning bhuwana, apan sampun winastonan; ingutus ikang Bhatara,kalih lan sira Bhatari. Kinon sira (ng) gawa loka, neher sira sinanmata, kang wikan pateng ranira, sinapa de Bhatara. Kosika mlesat mangetan, matemahan dadi dengen, sang Garga mlesat mangidul, matemahan dadi sang mong. Sang Maitri mlesat mangulon, matemahan dadi ula,Kurusya mlesat mangalor, matemahan dadi bwaya. Pratanjala mlesat (ring)madhya, matemahan hyang kurma raja, ingutus sang Pratanjala, tumurun manggawe loka. Lumampah nda tan parowang, ingutus Bhatari Uma; dening paduka Bhatari, tumurun sang Pratanjala. Neher amit anganjali, Bhatara lawan Bhatari, angadeg sireng pantara, awang-awang uwung-uwung. Tanhananing sarwa katon, tan hana ning sarwa umung. Ahening cipta Bhatari,alekas anggawe loka, maka daging ing bhuwana, kalih lan sang Pratanjala. Karingeta kuyu-kuyu, adres titis ing sarira. Tumiba mangkeng Bhatari, mijil ta Bhatari Gangga. Mulanira duk samana. Asat karinget Bhatari; metu uyah saking awak, ginutuk ta sepet asin. Tumibeng Bhatari Gangga, mijil Bhatari samudra; dinulu awak Bhatari, metu lemah saking awak. Tumibeng Bhatari samudra, mijil Bhatari prathiwi; sarimbag loning prathiwi,sa-payung lo ning Akasa. Mulanira duk samana, mayoga ta sira muwah,alekas anggawe loka ...... Yoganira sanghyang Budha Dharma mijil tekang Mahapadma, maka sesek ing bhuwana.Mijilta Radtya klawan Wulan, maka suluh ing bhuwana; mijil lintang Taranggana, maka tulis ing bhuwana. Mijil Panca Maha Bhuta, maka urip ing bhuwana; mijilta Catur pramana ; apah, teja, bayu akasa. Urip ing anda bhuwana sampun apasek; mangke punang jagat traya apan sampun sirayoga. Dinel Bhatari Uma, satampakira Bhatari: hana putih, hana abang, hana kuning,hana ireng. Kaget Bhatari Sri Uma, agila tuwon ing awak, neher masih nadah janma, mangerak masingha-nada; waja masalit masiyung, tutukilwirjurang parah ro; netra kadi Surya kembar, irung kadi sumur bandung;kuping Iwir leser ing pa (ha;roma...agimbal;awak awegah aluhur, luhur iratan pantara; tutug ing anda bhuwana, tutug madhya ning akasa; sira ta Bhatari Durga, aranira duk samana. Satinggal Bhatari Durga,ayoga sang wado Kala; wulune ginawe ala, lanang wadon warna nira. Pada sampun winastonan, sampun pinugrahan aran, kunang tetendahanira, sicabora, si cabori, si bragla, si bragali, si sanaka, si sanaki, sidurana, si durani, si kaleka, si kaleki, si gondala, si gondali, sibetala, si betali, garbhayaksa, garbhayaksi, galungan panadah Kala.Pangawaking Kala braja, besawarna mandi-jati, pepelika, pepeleki, agungalitwarna nira. Yoga ning Bhatari Durga; ri sampunira mayoga,lumebu sireng samudra, mayoga sira irika. Isining dalem samudra, mijil tekang sarwa rupa, duyung kuluyung lan prang-prang, tangiri Kalawan buntek. Tan ilang takonakena. Genep kabeh punang warna, Yoganing Bhatari Durga, dineleng sireng bhuwana, tutug madhya ning Akasa.Tuminghal ta Bhatara guru, turun sira sakarengan, mayoga ta sira muwah, matemahan metu Kala. Mangerak masingha-nada, waja masalita siyung, tutuk lwir jurang parongbrong, netra kadi Surya kalih. Irungkadi sumur bandung, kuping lwir lalar ing pandung, roma akepel agimbal, awak awegah aluhur. Luhuriratan pantara, abang tutug ing bhuwana, tutug madhya ning Akasa, sira ta Bhatara Kala. Sira ta Bhatari Uma, aranira duk samana, mayogasa-wado Kala, lanang wadon warnanira. Bhuta bhuti, yaksa yaksi, pisaca,Bhuta manganti, maha Bhuta, panca Bhuta,pulung darah, pulung darih, Dewa dengen, Bhuta dengen, Daitya, wil lawan Danawa, Mrajapati Anggapati. Kekeliki, Pepelika, Pepeleki, agung alit warnanira, yoganing Bhatara Kala. Ri sampunira mayoga, mangher po sira ring gunung, Hyang Sangkara naminira, mangher po sira ring alas. Bhuta Banaspati Raja, Banaspati sireng kayu, Singha-Kala sireng lemah, Kala Wisesa ring Akasa. Bhuta lamis sireng watu, Wisnu pujut sireng wengi,Bangbang pita ring rahina, Kala nundang sireng dalan. Dora Kala sirenglawang, Hyang maraja sireng natar, Bhuta Suci sireng sanggar, Bhuta sayah ring bale agung. Kala Graheng pamanggahan, Bhuta Ngandang simpangawan, Kala dungkang sireng batur, Bhuta duleg sireng longan, Bhuta andelik sireng galar, Bhuta Gumulung ing klasa, Bhuta Jempang sireng galeng, Bhuta Asih ring paturon. Kala Mukti sireng pawon, Bhuta Ndelep sireng dengen, Kala sakti sireng sanggar, Kala nembah taretepan, Kala nginte sireng pager, Kala ngintip sireng tampul, Dora Kala sireng lawang, Bhuta ngingel Siwawalan, Bhuta ninjo ring gugumuk, Bhuta ngilo sireng sumur, Bhuta mangsa sireng sema, Bhuta boset pabajangan, Bhuta rerengek ring wates, Bhuta ulu sireng pakung, Bhuta edan (ring) dalanagung, Bhuta wuru sireng sajeng, Bhuta bloh (sir) eng dalanagung, Bhuta logok sireng tapan, Bhuta bega pamidangan, Bhuta cantule ing pasajnan, Bhuta simuh sande kawon, Bhuta ngoncang sireng lumpang, Bhuta ngadu sireng lebuh, kuncang-kancing ring padangan Bhuta grawang Umah suwung, Bhuta lawang paciringan, Bhuta lepek paperangan, Bhuta rangregek sireng wates, Bhutatulus sireng pangkung,Kala-kali ring pajuden, Singanjaya ring Kalangan, Kala edan sireng pasar, siddha-kara ring patamon, Bhuta dengkol sireng dagan, Kalamendek ring paseban, Bhuta asih ring paturon, Kala mukti pabetekan, Kaladengsek pabajangan, Kala dekek sireng sendi. Dineleng Bhatari Durga, mentas ta saking samudra, sareng lan Bhatara Kala, apa ta jalukanira. Abhasma sira rudhira, kapala ganitri nira, usus tasandangan-ira, asampet sira bang ireng. Ingemban ingiring-iring, dening wado Kala nira, tan sah ring pasanak ira, angher po sira ring setra.Setra wates pabajangan, kepuh randu kurambiyan, ingayap ing wado Kala,dremba moha nadah janma. Ulih ing anggawe loka, tinadah rahina wengi,binuru inguyang uyang, dening wado Kala nira. Tinututsa-paranira, tinadah rahina wengi, kuneng kang tinadah ira, enaknya anadah jalma. Tan salah tinadah-ira, janna wetu wuku carik, wuku wayangwuku nira, kadana (n) lawan kadini. Pandawa lawan metuwang, tunggakwareng, unting-unting, uduh-uduh rare bajang, tinadah rahina wengi.Mangkin krodha Sanghyang Kala, tumurun sira sakareng, angadeg ringsunyantara, anggawe Sanggah Pamujan. Neher ta ginawe nira,Brahma, Wisnu, Maheswara, tumurun ring madhyapada, arddha moho inggawe manusa. Hyang Iswara dadi Resi, Hyang Brahma dadi Brahmana, Hyang Wisnu dadi Bhujangga, ya tha sira mangke ngutus, dening pada nira Sanghyang ngaturaken tadah saji, sari genep saji nira, sampun ta mangke winastwan. Dening pada nira Sanghyang, Brahmana, Bhujangga, Resi, Saiwa kalawan Saugata, anglukata dasa mala.Anadah Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga, tok sekul Kalawan ulan, sarwa genep kang tadahan. Tan ilang takon akena. Datenge Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga, angadeg ing puspa-kaki, ingayaping wado Kala, garjita tumon ing tatadahan, tan ilang takonakena.Ingundang ing japa mantra, tinabuhan genta-genti, unung kang genta oragan, sangka umung tan pantara. Tutug teka ring akasa, siniratan sekarura, candana lawan wija kuning, damar murup lawan dhupa. Kukus sakeng dhupa panggil, tutug teka ring akasa, mrebuk arum kang bhuwana,kongas tekeng windu-pada. Mulaning hana amuja, kang manuseng madhya-pada, tadahan Bhatara Kala, kalih lan Bhatari Durga. Neher sira siramanya : "manusa ring madhya-pada, Purnama Kalawan Tilem, tan kasapa de Hyang Kala, tan kasapa de Hyang Durga, Tan katadah de Hyang Kala,lan katadah de Hyang Durga, apan sampun sinuddha-mala, deni wastu nira Sanghyang. Ilang tekang rupa juti, waluya atemahan jati, Hyang Kala atemahan Guru, Hyang Durga temahan Uma. Mantuk mareng Siwapada; kalihlan Bhatari Uma; deni wastu nira Sanghyang, lukat sira Sang linukat.Lukat sira sang anglukat. Dewa sira sang linukat, hana sireng Siwapada,mantuk sira mareng swarga.Angiring ing pada Sanghyang, angadeg ing Suryapada; Kosika mulih mangetan, matemahan Hyang Iswara. Sang Garga mulih mangidul, matemahan Bhatara Brahma; Sang Maitri mulih mangulon.Matemahan Hyang Mahadewa. Kurusya mulih mangalor, matemahan BhataraWisnu, Pratanjala mulih ring madhya, matemahan Bhatara Siwa. Sakwehikang wak Kala, matemahan Widyadhara; manadi Yaksa klawan Yaksi matemahan Widyadhari. Sami mantuk mareng Swarga, angering paduka-nira, dening wastu nira Sanghyang, mulih kuneng jati purna.Manusa sami kalukat, mantuk maring Siwapada, sampun pada ingastonan,,ilang tekang rupa juti, waluya atemahan jati, dening wastu ira Sanghyang, alinggih ing Sthananira, enang-ening rupa jati.

TERJEMAHAN Om, Purwa Bhumi Kamulan (awal mula dunia).Yang Mulia Bhatari Uma, lahir dari pergelangan kaki Bhatara Guru. Mula-mula yang ada adalah Bhatari, sebagai permaisuri Bhatara . Beryogalah Bhatara dan beryoga pula Bhatari. Lahirlah para Dewata, Panca resi,Sapta resi; Kosika, Sang Garga, Maitri, Kurusya, Sang Pratanjala Kosika pandai dalam hal padyargha, dan kemudian dipastu/dikutuk oleh Bhatara; Sanghyang Kosika lahir dari kulit. Kemudian Sang Garga lahir dari daging. Sang Maitri lahir dari otot. Sanghyang Kurusya lahir dari tulang. Sang Pratanjala lahir dari sumsum. Maka lengkaplah isinya dunia (Bhuwana), sebab telah diisi. Kemudian Bhatara dan Bhatari disuruh membuat dunia, kemudian ia dinobatkan dan namanya sangat terkenal, dan kemudian di kutuk oleh Bhatara. Kosika pergi ke timur, berubah menjadi dengen. Sang Garga pergi ke selatan ,berubah menjadi harimau. Sang Maitri pergi ke barat berubah menjadi ular. Kurusya pergi ke utara berubah menjadi buaya. Pratanjala pergi ke tengah , berubah menjadi kura-kura besar. Sang Pratanjala diutus turun membuat dunia. Berjalan dengan tanpa teman, (karena) diutus oleh Bhatari (Uma), maka turunlah Sang Pratanjala. Lalu menyembah dan mohon diri (ke hadapan) Bhatara dan Bhatari. Berdirilah ia di antara langit yang kosong. Tidak ada sesuatu yang tampak, tidak ada sesuatu yang bersuara. Maka pikiran Bhatari menjadi hening, lalu mengeluarkan mantra-mantra untuk menciptakan dunia, beserta isinya dunia, bersama dengan sang Pratanjala. Keringat mengalir dengan deras membasahi badan. Kemudian jatuh menimpa Bhatari(Gangga), maka keluarlah Bhatari Gangga. Pada awal mulanya ketika itu,keringat Bhatari mengering, maka keluarlah garam dari badan yang rasanya sepat dan asin, jatuh menimpa Bhatari Gangga, lalu keluarlah Bhatari Samudra; dilihatnya badan Bhatari, keluarlah tanah dari badan, jatuh menimpa Bhatari Samudra,maka keluarlah Bhatari Prthiwi; kemudian dataran bumi menjadi melebar,berpayungkan hamparan langit yang lebar. Pada awal mulanya ketika itu, beliau kembali beryoga, mengucapkan mentra untuk membuat dunia.Dari yoga Sanghyang Dharma, keluarlah maha-padma, sebagai pelengkap dunia.Kemudian keluarlah matahari dan bulan sebagai penerang dunia; keluar gugusan bintang-bintang, sebagai hiasan pada dunia. Kemudian keluar Panca Maha Bhuta,sebagai jiwanya dunia; kemudian keluar catur pramana : apah,teja, bayu dan akasa. Sehingga jiwa anda bhuwana alit menjadi lengkap dan kuat;dan sekarang ketiga dunia menjadi sempurna, oleh yoga beliau. Dipandanglah Bhatari Uma, setiap yang disentuh oleh Bhatari, ada putih, ada merah, ada kuning dan ada yang hitam. Tiba-tiba Bhatari Uma menjadi murka melihat wujud dirinya, lalu tumbuh dorongan untuk memakan manusia, lalu berteriak bagaikan singa meraung.Gigi dan taringnya panjang. Mulutnya bagaikan jurang terbelah dua. Matabagaikan matahari kembar. Hidung bagaikan sumur kembar. Telinga bagaikan paha berdiri tegak. Rambut digulung, badannya tinggi besar,tingginya tidak terkira, dari anda bhuwana (Bulatan bumi) sampai kepertengahan langit, beliaulah Bhatari Durga, namanya saat itu. Semua abdi Bhatari Durga, dan abdi-abdi Sang Kala melakukan yoga;bulu-bulunya dijadikan sumber kejahatan, berwujud laki maupun perempuan. Semuanya sudah diisi dan sudah dianugrahi nama. Adapun nama-namanya adalah SiCabora, Si Cabori, Si Bragala, Si Bragali, Si Sanaka. Si Sanaki, SiDurana, Si Durani, Si Kalika, Si Kaleki, Si Gondala, Si Gondali, SiBetala, Si Betali, Si Garbhayaksa, Si Garbhyaksi, semuanya berpesta pada Galungan.Perwujudan Kala Braja, Besa warna yang amat sakti,Pepelika, Pepeliki, ada yang besar dan ada yang kecil wujudnya, Yoga Bhatari Durga. Setelah beliau beryoga, kemudian menyelam kedalam samudra, di sana beliau beryoga. Semua isi samudra lalu keluar dalam bentuk aneka rupa seperti : ikan duyung, ikan hiu, dan ikangergaji, ikan tengiri dan buntek (ikan pendek besar mengandung racun).Dan masih banyak lagi dengan nama masing-masing. Bhatari Durgaberyoga, dipandangnyalah dunia, tembus sampai kepertengahan angkasa.Bhatara Guru melihat, lalu seketika beliau turun. Kemudian beliauberyoga lagi, akhirnya lahirlah (para) Kala. Berteriak bagaikan singameraung, gigi dan taringnya panjang, mulut bagaikan jurang menganga,mata seperti matahari kembar, hidung bagaikan sumur kembar, telingabagaikan rambut diurai, badan tinggi besar. Tingginya luar biasa, bumimenjadi merah, tembus ke pertengahan langit, beliaulah Bhatara Kala. BhatariUma nama beliau tatKala itu Para Kala pembantu beliau baik yang laki maupunyang perempuan beryoga. Bhuta Bhuti, Yaksa Yaksi, Pisaca Bhutamenyertai, Maha Bhuta, Panca Bhuta, Pulung Dara , Pulung Dari .Krti Dara , Krti Dari , Dewa Dengen, Bhuta Dengen, Daitya, Wil,serta Danawa, Mrajapati Anggapati. Kekelika, Kekeliki, Pepelika,Pepeleki, ada yang besar ada yang kecil bentuknya, yoga Bhatara Kala.Setelah beliau beryoga, lalu beliau tinggal di gunung. Hyang Sangkaranama beliau, ketika beliau tinggal di hutan. Bhuta Banaspati,Banaspati pada kayu. Singha Kala pada tanah. Kala Wisesa pada langit.Bhuta Lamis pada batu. Wisnu Pujut pada malam hari. Bangbang Pita padasiang hari. Kala Nundang pada jalan. DoraKala pada pintugerbang. Hyang Maraja pada halaman. Bhuta suci pada sanggar. Bhuta Sayah padaBale agung. Kala Graha pada Kuburan (pemanggahan). Bhuta Ngadang padapersimpangan jalan. Kala Dungkang pada bangunan suci (batur). Bhuta Duleg dibawah tempat tidur. Bhuta Ndelik pada bilah-bilah bambu alas tikar pada tempat tidur (galar). Bhuta Gumulung pada tikar pandan yang dianyam halus (klasa). Bhuta Jempang pada bantal. Bhuta Asih pada tempat tidur. Bhuta Delep pada tugu pekarangan (dengen). Kala Sakti pada tempat suci (sanggar). Kala Nembah pada cucuran atap. Kala Nginte pada pagar. Kala Ngintip pada tiang rumah. Dora Kala pada pintu gerbang. Bhuta Ngigel pada orang kerasukan. Bhuta Ninjo pada gundukan tanah diatas kuburan. Bhuta Ngilo pada sumur. Bhuta Mangsa padakuburan Bhuta Boset pada kuburan anak-anak. Bhuta Reregek di perbatasan. Bhuta Ulu pada jurang. Bhuta Edan pada jalan besar. Bhuta Logok pada pertapaan(tapan). Bhuta Bega pada pamidangan . Bhuta Cantula pada balai pertemuan. BhutaSimuh pada waktu senja. Bhuta Nguncang pada lesung. Bhuta Ngadu pada jalan didepan rumah. Kuncang Kancing Padangan pada (alat dapur). Bhuta Grawang pada rumah kosong. Bhuta Lawang pada Gang. Bhuta Lepek pada medan perang. Bhuta Rengregek di perbatasan. Bhuta Tulus pada jurang. Kala Kali pada perjudian.Singanjaya pada arena perjudian. Kala Edan pada pasar. SiddhaKala pada pertemuan (patamon). Bhuta Dengkol pada kaki tempat tidur. Kala Mukti pada dapur. Kala Dengsek pada kuburan anak-anak. Kala Dekek pada dasar tiang rumah. Dipandangnya Bhatari Durga, lewat samudra, bersama dengan Bhatara Kala. Ia menggunakan darah sebagai basma. Ganitrinya tengkorak manusia. Usus selempangnya. Berselendang berwarna merah dan hitam. Diasuh dan diantar oleh para hambanya (yang terdiri dari) para Kala, tidak jauh dari sanak saudaranya, lalu ia menuju kuburan.Di perbatasan kuburan anak-anak,pada pohon kepuh dan randu yang rindang. Dipuja oleh para Kala yang menjadi hambanya, dengan seperti orang mabuk memakan manusia. Upah menciptakan dunia, dimakan., siang dan malam, dikejar dan diperangkap,oleh para Kala yang merupakan para hambanya. Kemana pergi dikejar,dimakan siang dan malam. Adapun manusia yang dimakan dengan enaknya.Tidak lain yang dimakan adalah orang yang lahir pada Wuku Carik, yaitu orang yang lahir pada Wuku Wayang, lahir kembarsiam (kadana-kadini), bersaudara lima, tunas tunggul (tunggak wareng), unting-unting, itulah yang dimakan siang dan malam. Sekarang Sanghyang Kala marah,seketika ia turun, berdiri diantara dunia yang sepi, membuat sanggar pemujaan.Lalu diciptakan Brahma, Wisnu dan Maheswara, kemudian turun kedunia,berkehendak menciptakan manusia. Hyang Iswara menjadi Resi. Hyang Brahmamenjadi Brahmana. Hyang Wisnu menjadi Bhujangga. Merekalah kemudian yang diutus oleh Tuhan (Sanghyang), agar menghaturkan sajen/banten, segala jenis sajen yang lengkap. Sekarang sudah ditegaskan; oleh Sanghyang, bahwa Brahmana,Bhujangga, Resi, Siwa dan Sogata, boleh meruwat sepuluh jenis kekotoran. Bersantaplah Bhatara Kala bersama dengan Bhatari Durga, tuak, nasi, dan ikan,berjenis-jenis hidangan lengkap. Dan banyak lagi namanya yang lain.Kemudian Bhatara Kala datang, bersama dengan Bhatari Durga, berdiri diatas tangkai bunga, dipuja oleh para Kala yang merupakan hamba sahayanya, sangat senang hatinya, melihat hidangan. Diundang dengan japamantra, diiringi suara genta yang tiada putus-putusnya, suara genta oragan riuh, suara sangka riuh tidak henti-hentinya. Tembus sampai keangkasa, ditaburi dengan bunga-bungaan, cendana dan bija berwarna kuning, pedupaan dan dupa menyala. Asap dupa panggil tembus sampai keangkasa, bumi jadi harum semerbak bahkan sampai ke Windu Pada. Itulah awal mulanya adanya manusia dibumi memuja,mempersembahkan sesajen kepada Bhatara Kala, dan kepada Bhatari Durga. Lalu ia berjanji, bahwa setiap Purnama dan Tilem manusia di bumi tidak dikutuk oleh Bhatara Kala dan tidak pula dikutuk oleh Bhatari Durga. Tidak disantap oleh Hyang Kala,dan tidak pula dimakan oleh Hyang Durga, sebab sudah disucikan kekotorannya oleh berkat Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan). Rupanya yang mengerikan kemudian hilang, kembali seperti semula. Hyang Kala menjadi Bhatara Guru, Hyang Durga menjadi Bhatari Uma. Pulang menuju Siwa-pada (tempatnya Siwa), bersama dengan Bhatari Uma, oleh karena berkat Sanghyang Tunggal,akhirnya teruwat juga orang yang diruwat. Yang meruwat juga teruwat. Yang diruwat adalah Dewa, beliau ada di Siwa-pada. Ia kembali menuju Sorga. Setia pada Sanghyang Tunggal ,tinggal di Surya-pada. Kosika kembali ke timur menjadi Hyang Iswara.Sang Garga kembali ke selatan menjadi Bhatara Brahma. Sang Maitri kembali ke barat menjadi Hyang Mahadewa. Kurusya kembali ke utara menjadi Bhatara Wisnu. Pratanjala kembali ketengah menjadi Bhatara Siwa. Semua Kala yang merupakan hamba-hambanya menjadi Widhyadara.Mandiraksa dan Yaksi menjadi Widhyadari. Semuanya kembali ke sorga mengikuti junjungannya. Semua itu karena berkat Sanghyang Tunggal .Semuanya kembali seperti wujudnya semula.”mulih maring sangkan paran Rat Kabeh”.Acintya=tak terpikirkan. "Om Santih Santih Santih Om"