Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunanbangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (patirthan) dan gua-gua pertapaan. Selain itu terdapat pula sisa-sisa bangunan lain, misalnya pintu gerbang yang kadangkala disebut candi pula.
Bangunan-bangunan suci masa Majapahit ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan ada juga yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago. Candi Bhayalangu, Candi Sanggrahan dan Candi Jabung, Sifat keagamaan itu kita ketahui antara lain dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan dukungan bukti data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakrtagama, Kakawin Arjunawijaya, Kakawin Sutasoma dan sedikit berita prasasti.
Di samping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat. Bangunan suci yang dikelola oleh pemerintah pusat ada 2 macam yaitu:
1. Dharma -Dalm (Arj. XXIII:2a), yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi Raja beserta keluarganya. Menurut Nagarakretagama, setiap bangunan suci dikelola oleh seorang Sthapaka dan seorang Wiku Raja dan secara keseluruhan diawasi oleh seorang Dharmadhyaksa di Istana. Jumlah Dharma-Haji ini ada 27 buah diantaranya Kegenengan, Kidal, Jajadhu, Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir (Pigeaud I, 1960:57).
2. Dharma-Ipas adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para Rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka (pakajiwita) (Soepomo I, 1997:123). Dharma-Ipas kasaiwan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasaiwan, Dharma-Ipas kasogatan dikelola oleh seorang dharmadhyaksa ring kasogatan dan Dharma-Ipas karesyan dikelola oleh mantri-her-haji (Pigeaud 1, 1960-58).
Bangunan/tempat suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik para rsi (pertapa wanaprastha) antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum bangunan/tempat suci ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya yang terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru (Santiko 1986, 1990).
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi (fungsi ganda) yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, serta sekaligus sebagai; Kuil pemujaan dewa. Yang termasuk candi ganda antara lain Candi Jagi, Candi Pari, Candi Rimbi, dan Candi Simping (Sumberjati). Ciri candi kelompok ini adalah adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah area pendharmaan perwujudan (dewawimbha).
Kejayaan Majapahit : Rajasanagara Di Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389 M) Sang Sri Natha ri Wilwatikta haji Rajasanagara wisesa bhupati. Masa kejayaan Majapahit(Maharaja saking Purahitta) berlangsung dalam era pemerintahan Hayam Wuruk. Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali. Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Aryya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Dia menurut uraian Nagarakrtagama bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan (Nag. 49 : 4). Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta. Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan). Kitab pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Welcasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep. Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjanalan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya. Menurut uraian Nagarakrtagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur tahun 1353 M mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1354 M, perjalanan ke Pantai Lasem dan tahun 1357 M ke pantai selatan. Pada saat mengadakan peqalanan ke pantai selatan inilah terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo. Rute perjalanan yang paling panjang adalah ke Lumajang tahun 1359 M, Tarib dan Sampur tahun 1360 M. Pada 1361 M, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Penataran) yang merupakan candi Kerajaan Majapahit. Dia memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri di tahun 1362 M. Upacara ini berlangsung meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajnaparamita di Candi Prajnaparamitapuri di Bhayanglango. Pada 1363 M, Hayam Wuruk meng4dakan perjalanan ke Simping (Sumberjati) untuk meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi barn. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana). Pararaton menyatakan bahwa Gajah Mada mengundurkan din dan jabatannya setelah peristiwa Bubat, disebutkan “... samangka sira gajah mada mukti palapa. Mukti palapa dalam situasi ini bukanlah sumpah Amukti Palapa yang terkenal itu karena sumpah itu sudah lama diucapkannya dalam zaman pemerintahan ibunda Hayam Wuruk, Ratu Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Adapun mukti palapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai “menikmati masa istirahat”. Oleh karena itu, Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada wilayah sima (daerah perdikan) untuk keperluan istirahatnya. Nagarakrtagama menyebutkan nama daerah itu sebagai Madakaripura. Tempat itu merupakan wilayah sunyi di pedalaman Jawa Timur sehingga cocok untuk Gajah Mada yang menarik diri dari dunia ramai. Selain itu, tempat itu juga disebut sebagai pesanggrahan bagi Gajah Mada. Hayam Wuruk pernah singgah di Madakaripura dalam perjalannnya ke Lumajang di tahun 1359 M. Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil Pahom Narendra, yaitu dewan pertimbangan agung kerajaan yang beranggotakan: 1. Sri Kertawarddhana, ayahanda raja 2. Tribhuwananottunggadewi, ibunda raja 3. Rajadewi Maharajasa (bibi raja) 4. Wijayarajasa (suami Rajadewi Maharajasa) 5. Rajasaduhiteswari (adik pertama raja) 6. Singhawarddhana (suami Rajasaduhiteswari) 7. Rajasaduhitendudewi (adik ke-2 raja). 8. Raden Lanang/Bhre Matahun (suami Rajasaduhitendudewi). Mereka berembuk untuk mencari siapa yang pantas menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit dengan tugas-tugas beratnya. Berdasarkan pertimbangan Pahom Narendra disimpulkan bahwa tidak ada seorang tokoh pun yang dapat menggantikan kedudukan Gajah Mada. Oleh karena itu, diangkatlah tiga tokoh yang melaksanakan tugas-tugas Gajah Mada, yaitu: 1. Aryyatmaja Pu Tanding sebagai wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan). 2. Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala menjadi menteri mancanagara 3. Patih Dami diangkat menjadi yawamantri. Masa pemerintahan Hayan Wuruk tanpa patih amangkubumi hanya berlangsung tiga tahun. Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah tiga tahun terdapat kekosongan jabatan patih. Gajah Enggon kemudian diangkat menjadi patih amangkubumi Majapahit (1371-1398 M). Pada 1389 M Rajasanagara rneninggal, tetapi tempat suci untuk memuliakannya (pen-dharrna-an) belum diketahui secara pasti. Pen-dharma-an Hayam Wuruk diduga adalah Paramasukhapura di daerah Tanjung. Hal ini berdasarkan berita Pararaton karena disebutkan bahwa yang di-dharma-kan di tempat itu adalah Bhattara Hyang Wekasing Sukha, nama anumerta Hayam Wuruk. Susunan Pemerintahan Pada masa pemerintahan Rajasan agara, susunan pejabat pemerintahan kerajaan jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Hal itu dapat diketahui dari uraian beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Salah satu prasasti itu dinamakan prasasti Trowulan yang dikeluarkan tahun 1358 M. Prasasti itu antara lain menyebutkan bahwa nama resmi Hayam Wuruk setelah menjadi raja ialah Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri Rajasanagara Namarajabhiseka. Pahom Narendra terdapat di bawah raja yang anggota-anggotanya telah diuraikan di bagian terdahulu. Raja dibantu oleh pejabat tinggi utama dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada. Para pejabat tinggi kerajaan yang disebut tanda berada dibawah patih. Mereka terdiri atas beberapa peringkat. Pertama adalah mahamantri katrini yang terdiri dan mahaniantri i hino, i halu dan i sirikan. Kedua adalah pasangguhan atau hulubalang. Ketiga adalah rakryan mantri dwipantara, yaitu pejabat urusan daerah-daerah Nusantara. Keempat adalah sang panca Wilwatikta yang terdiri dan patih, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Kelima adalah para pejabat juru pangalasan, yaitu pembesar daerah dan pembesar di negara bagian yang dilengkapi dengan para patih di daerah tersebut. Kelompok lairinya adalah para aryya, yaitu pejabat yang lebih rendah dan rakryan mantri. Para aryya dapat naik jabatannya apabila dianggap berjasa. Mereka dapat menjadi wrddhamantri (mentri senior). Selain para pejabat pemerintahan tersebut, ada juga para pejabat tinggi yang menangahi urusan keagamaan, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan yang mengurusi perihal agama Hindu-saiva, Dharmmadyaksa ring Kasogatan pejabat yang mengurusi agama Budha Mahayana dan mantri er haji (mantri her haji) pejabat yang mengurusi perihal kaum pertapa. Dalam uraian kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca - yang selesai digubah tahun 1365 - terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit. Prapanca menguraikannya dalam dua pupuh, yaitu pupuh 13 dan 14. Wilayah-wilayah itu terdapat di Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Adapun dalam baris satu pupuh 15 disebut adanya negara-negara sahabat Majapahit (mitra satata), seperti Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthia, pedalaman Thailand), Darmanagari (Dharmarajanagara/Ligor), Marutma (Martaban, selatan Thailand), Rajapura (Rajjpuri, daerah selatan Thailand), Singhaagari (daerah di tepi Sungai Menam), Campa, Kamboja dan Yawana (Annam, Vietnam). Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu mitra satata Majapahit. Namun demikian, cukup banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Tnowulan bekas Kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang. Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut: “Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi 2 kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya anehaneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Bea yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”. Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Cresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kotá tersebut. Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telab memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya. Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah. Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang. Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak barnbu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban. Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan. Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut. Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya. Mereka suka membeli batu-batu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dan dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit. |
2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, pada umumnya tidak mempunyai garbhagrha dan arca perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar dan/atau miniatur candi.Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Pananggungan, Lawu, Wilis dan sebagainya (Santika 1998).
Pejabat Keagamaan dan Agamawan di Majapahit
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanotunggadewi (ibunda Hayamwuruk) beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447, karena pejabat kedua agama itu terutama pejabat Buddha disebut terakhir kali dalam prasasti Waringin Piti (Hasan Djafar 1986 : 239-258). Saat pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa di bawahnya yang secara keseluruhan disebut Dharmapapati atau Dharmadhikarana. Lima pejabat Siwa ini pada pemerintahan Tribhuwana di tambah 2 orang dari agama Buddha, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang dan secara berkelompok disebut Sang Saptopapati (Van Naersen 1933:239-258).
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanotunggadewi (ibunda Hayamwuruk) beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447, karena pejabat kedua agama itu terutama pejabat Buddha disebut terakhir kali dalam prasasti Waringin Piti (Hasan Djafar 1986 : 239-258). Saat pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa di bawahnya yang secara keseluruhan disebut Dharmapapati atau Dharmadhikarana. Lima pejabat Siwa ini pada pemerintahan Tribhuwana di tambah 2 orang dari agama Buddha, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang dan secara berkelompok disebut Sang Saptopapati (Van Naersen 1933:239-258).
Disamping pejabat resmi keagamaan, terdapat pula para agamawan, walaupun tidak resmi mempunyai kedudukan dalam struktur birokrasi pemerintahan Majapahit, tetapi mempunyai peranan penting di lingkungan istana. Dalam sumber tertulis mereka disebut berkelompok, ada yang berkelompok 3 disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata dan kelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra) saiwa-sogata-rsi. Kehadiran mereka secara resmi telah disebut dalam prasasti-prasasti Airlangga. Kelompok rsi dalam prasasti Airlangga disebut walkali atau walkaladhara (berpakaian kulit kayu). Rsi di sini bukan rsi tokoh mitos seperti Narada, Vivamitra, Kasyapa dan sebagainya, tetapi para pertapa yang sedang menjalani tahap hidup wanaprastha dan sanyasin atau bhiksuka (Santiko 1986, 1990).
Mahabrahmana yang disebut juga wira, adalah pendeta ahli Weda, agama dan filsafat Hindu; mungkin sebagian didatangkan dan India dan mungkin bertindak sebagai purohita di istana Majapahit. Dalam Nagarakrtagama pupuh XII:I disebutkan seorang pendeta (dwija) Siwa bernama Sri Brahmaraja, dan dalam pupuh LXXXIII:3, mengatakan bahwa 3 orang dwija diketuai oleh Sri Brahmanaja, seorang ahli dalam ajaran agama, filsafat Nyaya, Samikhyatarka Wyakarana dan ajaran Weda, mereka tinggal di istana dan sangat dihormati. Menurut Pigeaud kemungkinan mereka datang dari India (Pigeaud I, 1960:64, IV 1962:269-270). Nama Sri Brahmaraja terdapat pula pada prasasti Nglawang kira-kira dari tahun 1350, dan prasasti Ptak dan Jiu yang dikeluarkan pada tahun 1486. Dan beberapa sumber ini dianggap bahwa Sri Brahmaraja Ganggadhara dalam kedua prasasti terakhir berbeda dengan Sri Brahmaraja yang datang ke istana Majapahit masa Hayam Wuruk.
Agama Siwa Buddha
Pembaharuan / pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya mempertemukan kedua agama tersebut belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat din dalam menghadapi musuh dan Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara yang bernama Buddha Mahayana Tantrayana, membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari, dekat kota Malang. Dalam Nagarakrtagama pupuh LV:Id dikatakan.. entun yang dwaya saiwa budha sang amuja nguni satata artinya “itu sebabnya kedua (pemeluk) Siwa dan Buddha dahulu melakukan puja secara teratur”. Puja teratur dilakukan oleh para penganut Siwa maupun Buddha di Candi Jawi tersebut. Candi Siwa-Buddha seperti yang dibuat oleh Krtanagara memang tidak dijumpai pada jaman Majapahit, tetapi, uniknya, candi yang bersifat Buddha masa Majapahit tidak segan-segan menghias dindingnya dengan relief cerita yang bersifat Siwa dan begitu sebaliknya. Misalnya Candi Jago yang bersifat Buddha menghias dinding candinya dengan relief cerita Arjunawiwaha, Parthayajna dan Kalayanawanantaka yang semua cerita Siwa. Sebaliknya Candi Panataran yang bersifat agama memahat cerita Bubuksah Gagangaking yang bersifat Buddha di dinding salah satu bangunan candi tersebut.
Pembaharuan / pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya mempertemukan kedua agama tersebut belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat din dalam menghadapi musuh dan Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara yang bernama Buddha Mahayana Tantrayana, membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari, dekat kota Malang. Dalam Nagarakrtagama pupuh LV:Id dikatakan.. entun yang dwaya saiwa budha sang amuja nguni satata artinya “itu sebabnya kedua (pemeluk) Siwa dan Buddha dahulu melakukan puja secara teratur”. Puja teratur dilakukan oleh para penganut Siwa maupun Buddha di Candi Jawi tersebut. Candi Siwa-Buddha seperti yang dibuat oleh Krtanagara memang tidak dijumpai pada jaman Majapahit, tetapi, uniknya, candi yang bersifat Buddha masa Majapahit tidak segan-segan menghias dindingnya dengan relief cerita yang bersifat Siwa dan begitu sebaliknya. Misalnya Candi Jago yang bersifat Buddha menghias dinding candinya dengan relief cerita Arjunawiwaha, Parthayajna dan Kalayanawanantaka yang semua cerita Siwa. Sebaliknya Candi Panataran yang bersifat agama memahat cerita Bubuksah Gagangaking yang bersifat Buddha di dinding salah satu bangunan candi tersebut.
Pembauran Agama Siwa-Buddha ini sebenarnya hanyalah sebatas mempersamakan kenyataan tertinggi (the Supreme Being) kedua agama beserta segala emanasinya, disertai pembauran beberapa konsep kedua agama tersebut, namun bukan pembauran seluruh sistem. Kedua agama tersebut masih tetap eksis dengan penganut masing-masing yang menjalankan tata upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka, demikian pula mereka masih tetap memiliki bangunan-bangunan suci sendiri.
Pembauran agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Misalnya Kertarajasa, raja pertama Majapahit, di-dharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan Antahpura sebagai Buddha. Raja Jayabaya, raja ke dua Mahapahit, di-dharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Mewujudkan raja yang wafat sebaligus sebagai Siwa dan Buddha membuktikan adanya kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Budha tidaklah berbeda, seperti yang disebut dalam Kakawin Sutasoma pupuh CXXXIX “hyang budha tan pahi lawan siwa rajadewa “.
Agama Siwasiddhanta
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah agama Siwadiddhanta (Siddhantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa raja Sindok (abad X). Sumber ajaran agama Siwasiddhanta adalah kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok dan yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran Agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
• Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakalaniskala);
• Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala);
Disamping membicarakan tattwa Siwa, Tutur membicarakan pula tentang pencapaian kalepasan, yaitu kesempurnaan yang dicapai waktu masih hidup; kamoksan, yaitu kesempurnaan setelah meninggal; peleburan diri dalam kehampaan (Sunya), yang dalam sumber tertulis disebut dengan istilah mulih atau mantuk, misalnya mantuk ing Siwapada, mantuk ring swargga loka. Salah satu usaha pencapaian kelepasan dan kamoksan adalah dengan cara pemujaan lingga yang dapat melenyapkan dosa (kiesa). Apa yang ditulis dalam Tutur diajarkan oleh para siddharsi (dewaguru) di mandala-mandala (kadewaguruan). Disamping diberi pengertian tentang Paramasiwa yang juga disebut pula sebagai Bhatara Guru atau Hyang Jagatparamana, diajarkan pula pada para murid (sisya, kaki, endang) tata upacara yang harus dilakukan sebelum berkomtemplasi tentang pembebasan jiwa, yoga dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang tinggi.Bersambung.................
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah agama Siwadiddhanta (Siddhantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa raja Sindok (abad X). Sumber ajaran agama Siwasiddhanta adalah kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok dan yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran Agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
• Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• Sadasiwa-tattwa yang bersifat berwujud-tak terwujud (sanakalaniskala);
• Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala);
Disamping membicarakan tattwa Siwa, Tutur membicarakan pula tentang pencapaian kalepasan, yaitu kesempurnaan yang dicapai waktu masih hidup; kamoksan, yaitu kesempurnaan setelah meninggal; peleburan diri dalam kehampaan (Sunya), yang dalam sumber tertulis disebut dengan istilah mulih atau mantuk, misalnya mantuk ing Siwapada, mantuk ring swargga loka. Salah satu usaha pencapaian kelepasan dan kamoksan adalah dengan cara pemujaan lingga yang dapat melenyapkan dosa (kiesa). Apa yang ditulis dalam Tutur diajarkan oleh para siddharsi (dewaguru) di mandala-mandala (kadewaguruan). Disamping diberi pengertian tentang Paramasiwa yang juga disebut pula sebagai Bhatara Guru atau Hyang Jagatparamana, diajarkan pula pada para murid (sisya, kaki, endang) tata upacara yang harus dilakukan sebelum berkomtemplasi tentang pembebasan jiwa, yoga dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang tinggi.Bersambung.................
0 Responses So Far:
Ngiring sareng-sareng Ngelantur