Pura Bukit Darma Kutri kaitannya dengan Pura Ibu Majapahit Pusat.


Om Swastyastu
Pada waktu Raja Udayana (Dinasti Warmadewa/Mulawarma/Miauliwarma) memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya Adat budaya Jawa ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Darma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh  dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Darma di Kutri itu?

Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur(Dinasti Sendok/Wangsadharma). Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan/Kelenteng(china), tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.

Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura PeDarman. Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.

Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.

Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadikan Bali yang plus. Agama Hindu Bali(Siwa Sidhantha/Siwa Budha) telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama” Siwa Sidhantha” dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.

Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Tirtha . Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Lontar Majapahit dan kitab-kitab susastra lainnya. Seni budaya Hindu Bali yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat setempat..

Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah menjadi kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.

Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Budaya Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Darma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.

Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana Babad Tanah Jawi. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu Jawa dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.

Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali adalah dengan Pemujaan beliau di Pura Kahyangan Dalem Desa masing-masing Pakraman,dan Pura Paibon di masing-masing Trah/klan/keluarga besar/gotra.

Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.

Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.Sedangkan adat Budaya Jawa dan Bali pemujaan Ganesha atau Hyang Ganapathi diwujudkan dengan Ruwat deso/kota/bumi(Jawa) atau istilah Balinya  ada disebut “Caru Rsi Ghana”yang sudah diterapkan oleh masyarakat Bali secara turun temurun meskipun pemahaman masyarakat Bali Cuma tahu “MULA KETO”yang mana puncak pemujaan Ghanesa terbesar di rayakan pada Tilem Kesanga(Pengrupukan),Tawur Agung Kesanga yaitu jatuh  sebelum Hari Raya Nyepi.itulah implementasi Leluhur kita dalam penerapan pemujaan Ghanesa Kala/Ghanesa Dwi Muka Pura Majapahit Pusat berupa Pratima yang umurnya 1000th.

Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah.

Dewi Durgha di Pura Bukit Dharma Kutri :

Om Catur divya maha sakti.
Catur asrame Bhatari.
Siwa jagatpati Dewi
Durga sarira dewi.
(Stuti & Stava 308.2)

Maksudnya:
Om Hyang Widhi dalam wujud Catur Dewi, mahakuasa dan mahasuci, Hyang Widhi sebagai Dewi yang dipuja dalam empat kehidupan manusia, Catur Dewi adalah saktinya Sang Hyang Siwa, Dewa dari seluruh Dewa. Om Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sebagai Dewi Durga.

Pura Bukit Darma di Kutri Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai stana (Padharman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Darma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.

Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Darma Patni — sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan  Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.

Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Darma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Darma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan berageman di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Darma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Darma Patni distanakan (didharmakan) di Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan Blahbatuh Gianyar Bali.

Di pura ini permaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.

Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga” dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya menempuh jalan itu maka disebut Durga.

Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Darma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Darma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.

Gunapriya Darma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala(Arcanam) dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Dharma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.

Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/ panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana yang mana senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.

Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini distanakan pada bangunan pelinggih di arah Ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Darma ini. Arah Ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta(Siwa Budha). Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.

Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.

Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa(Purusha) dengan Dewi Parwati(Predhana) manifestasi dari Bapak dan Ibu(Lingga Yoni) beliau. Pemujaan Beliau sebagai manifestasi dari Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang dan sudah tentu yang paling penting adalah penghormatan kepada Leluhur pendahulu karena tanpa leluhur kita tidak ada di dunia ini. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini tanpa melupakan asal usul dari kita/bibit Wit atau istilah Balinya “Kawitan”.Kenapa di Pura Ibu Majapahit juga memuja Durga karena kita ketahui bahwa Prabu Airlangga yang menjadi Raja di Tanah Jawa adalah anak pertama dari Prabu Udayana hasil perkawinannya dari Ibunya Mahendradhatta malahan di Pura Ibu Majapahit diwariskan Pratima Durga Mahisasura Mardini bertahtakan Emas 1000th. berumur sama dengan keberadaan Pura Dharma Kutri di Gianyar.Sedangkan yang berstana di Pura Ibu Majapahit adalah Ibu Siwa Parwathi Tangan seribu Istrinya Bhatara Siwa mempunyai anak Ghanesa/dewa Ghana yang selalu menjaga Ibunya dengan setia semua Pratima ada termasuk Pratima Bhatara Lingsir(Siwa Budha “dalam kekawin sutasoma disebutkan siwa dan budha itu satu wujud tapi lain sebutan)ada yang umurnya tak terdeteksi oleh Arkeologi.inilah kaitannya Pura Durga Kutri dengan Pura Ibu Majapahit Pusat(Pura Ibu dari segala Ibu).Yang semua Pratima Kawitan Pusat sudah di “Upacara SUCISRADHA”upacara penyatuan Leluhur ke dewa dewi Titisannya(Manifestasi).Upacara Sucisradha ini adalah upacara akhir dari upacara “Ngaben di Bali”,dan jarang masyarakat di Bali bisa bikin upacara ini kecuali Puri Sunantaya Penebel Tabanan trah ARYA DAMAR atau.keluarga Raja Majapahit di Bali yang masih memegang “Lontar Indik Sucisradha”.

Jadi garis besar dari adanya Pura Durgha Kutri  dan Pura Ibu Majapahit ini adalah asli pemujaan Leluhur Pendahulu kita atau Pemujaan Kawitan Tertinggi bagi umat sedarma yang masih diterapkan sampai sekarang dan seterusnya.Rahayu……Rahayu………..Rahayu.

Om Shanti Shanti Shanti Om.




0 Responses So Far:

Ngiring sareng-sareng Ngelantur